Hal itu yang menjadi kendala para petani udang vaname. Selain itu, kendala lain adalah penurunan kualitas benur dan sumber daya air, seperti: ketidakstabilan lingkungan dan penerapan sistem terbuka tanpa tandon dan treatment air, menjadi kendala lain yang sering dihadapi dalam pengembangan budidaya udang vaname.
“Memelihara udang vaname tidak mudah, lingkungan; suhu, kemudian oksigen semua pengaturannya tidak mudah. Dan di sini (Muara Gembong) gagalnya vaname itu ada virus,” jelas Presiden.
Untuk mengatasi kendala dalam pengembangan budidaya udang vaname dilakukan dua cara. Pertama, pengembangan unit pembenihan udang (hatchery) tanpa antibiotik, yang meliputi penerapan biosecurity, penggunaan induk unggul, SPR (Spesific Pathogen Resistant), penggunaan immunostimulan sebagai suplemen pakan, dan pengolahan air baku dan pembenihan yang baik.
Kedua, pengembangan unit pembesaran udang (tambak) berkelanjutan meliputi penerapan biosecurity, plesterisasi/plastikisasi tambak, menebar benur berkualitas dan SPR dengan kepadatan 80 -100 ekor/m2, serta pengolahan air dengan ikan nila sebagai pengendali bahan organik dan penekan bakteri vibrio pada tambak plastik.
Total tambak udang vaname di Muara Gembong mencapai 11.000 hektar. Namun, tambak yang dikelola baru 80 hektar, sementara tambak yang diuji coba sebanyak 10 hektar. Pengelolaan tambak ini di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Untuk mengelola satu hektar tambak udang vaname dibutuhkan modal kurang lebih Rp 180 juta. Sementara ketika panen untuk satu hektar tambak para petani bisa meraup rupiah Rp 310-320 juta. Artinya ada margin keuntungan satu kali panen kurang lebih Rp 120-an juta.
(Pemprov Jabar)