RADARBANDUNG,id, BANDUNG–Dalam suratnya kepada Jean-Baptiste Leroy, pada 1789, Benjamin Franklin mengungkapkan, ‘Our new constitution is now established, and has an appearance that promises; but in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes’. Ungkapan yang juga muncul dalam buku The Political History of the Devil karya Daniel Defoe dan The Cobbler of Preston oleh Christopher Bullock menunjukkan, pajak adalah salah satu hal yang penting dan pasti dialami manusia dalam kehidupannya.
Saking pentingnya pajak dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih rasio pajak, sempat menjadi topik pada debat capres 2019 lalu. Seberapa penting dan kenapa pajak harus ada dalam kehidupan ini, lantas mengapa pula debat capres kemarin menyoroti rasio pajak? Dalam pasal 1 ayat 1 UURI No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, pajak merupakan salah satu pendapatan utama negara yang didapat dari pembayaran atau penyetoran wajib pajak dan digunakan negara untuk membiayai segala keperluan negara seperti membangun infrastruktur atau biaya operasional negara lainnya.
Fakta uniknya, dalam APBN pajak menyumbang sekitar 75-80 persen dari keseluruhan pendapatan APBN tersebut. Sedangkan rasio pajak, selanjutnya disebut tax ratio, adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto. Tax ratio digunakan untuk mengukur berapa besarnya penerimaan pajak dalam suatu negara, dengan kata lain tax ratio dijadikan ukuran yang dapat memberikan gambaran umum atas kondisi perpajakan suatu negara.
Pada praktiknya tax ratio dibagi dua, yaitu tax ratio dalam arti sempit dan tax ratio dalam arti luas. Tax ratio dalam arti sempit dapat dihitung dengan cara membagi jumlah pajak nasional (pajak pusat) dengan PDB. Sedangkan, tax ratio dalam arti luas dapat dihitung dengan menambah jumlah pajak pusat dan daerah lalu dibagi jumlah PDB. Perhitungan Tax ratio setiap negara tentunya berbeda-beda, karena setiap negara memliki kebijakan perpajakannya masing-masing.
Bagaimana kondisi tax ratio Indonesia sekarang? Nyatanya tax ratio Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Pada 2012 Tax ratio Indonesia dalam arti luas mencapai angka 14 persen dan terus menurun selama 5 tahun sampai menyentuh angka 10,7 persen pada 2017. Selanjutnya, mengalami kenaikan sebesar 0,8 persen menjadi 11,5 persen pada 2018. Rendahnya tax ratio karena biaya kepatuhan wajib pajak masih cukup tinggi. Terlihat dari masih adanya kantor-kantor pajak yang kurang menjangkau wilayah-wilayah di pelosok Indonesia. Dampaknya, wajib pajak mengeluarkan biaya lebih jika ingin pergi ke kantor pajak untuk mengurus kewajiban perpajakannya. Selain itu, kurang adanya kepastian hukum serta kurang bersaingnya tarif pajak di Indonesia disebut-sebut penyebab rendahnya tax ratio Indonesia.
Wajib pajak yang tidak melaporkan seluruh penghasilan, basis perpajakan yang masih kurang kuat, sampai mekanisme perpajakan yang dinilai terlalu ribet juga menjadi alasan wajib pajak kurang patuh menjalani kewajiban perpajakannya sehingga tax ratio masih rendah.
Lantas bagaimana meningkatkan tax ratio tersebut? Apakah pemerintah harus menaikkan tarif pajak?
Ekonom asal Amerika Serikat, Arthur Laffer menjelaskan hubungan peningkatan tarif pajak terhadap penerimaan pajak dalam sebuah kurva yang disebut Kurva Laffer. Kurva tersebut menjelaskan penerimaan pajak pada titik 0 adalah sebesar 0 persen, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada titik tertentu kemudian akan menurun kembali ketika mencapai titik 100.
Teori ini menjelaskan, ketika tarif pajak makin tinggi maka masyarakat akan makin malas dan bersifat apatis membayar pajak sehingga penerimaan pajak akan berkurang. Jika menaikkan tarif pajak tidak terlalu berhasil, apakah menurunkan tarif pajak dapat meningkatkan tax ratio? Penurunan tarif pajak hanya akan membawa manfaat jika disiapkan dengan matang, jika tidak, dampaknya akan buruk.
Hal ini dapat diketahui jika kita berkaca pada negara lain seperti Rusia, Amerika, dan China. Rusia sempat menurunkan tarif PPh dari 24 persen ke 20 persen pada 2009. Hasilnya, tax ratio negara tersebut dari 16 persen menjadi 13 persen. Kebijakan keringanan pajak Amerika Serikat oleh Presiden Donald Trump juga membuat tax ratio negara tersebut menurun. Penurunan tarif pajak orang pribadi yang semula 39,6 persen menjadi 37 persen dan tarif pajak badan dari 35 persen menjadi 21 persen membuat tax ratio Amerika turun dari 17,2 persen pada 2017 menjadi 16,4 persen dalam 2018.
Namun ada contoh sukses dalam penurunan tarif pajak seperti yang terjadi di Tiongkok. Penurunan tarif PPh badan di Negara Tirai Bambu tersebut yang semula 33 persen menjadi 25 persen berhasil menaikkan tax ratio dari semula 9,9 persen menjadi 10,3 persen. Selain itu negara Perancis juga berhasil mendongkrak tax ratio menjadi 21,4 persen dari semula sebesar 21,25 persen karena tarif PPh badan negara tersebut turun menjadi 24 persen dari semula sebesar 26 persen.
Kedua hal ini, baik menaikkan dan menurunkan tarif pajak, memang harus dipikirkan dengan matang. Jangan sampai ketika pemerintah melakukan salah satu hal tersebut hanya akan menjadi boomerang bagi pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain menaikkan atau menurunkan tarif pajak, ada beberapa cara atau strategi yang dapat menaikkan tax ratio seperti perluasan basis pajak khususnya wajib pajak yang belum terdata tax amnesty.
Perluasan ini dapat dilakukan melalui kerja-sama dengan negara lain lewat keterbukaan data nasabah perbankan. Sosialisasi akan kesadaran wajib pajak terhadap kewajibannya maupun penyerdehanaan ketentuan umum dan prosedur perpajakan dapat dilakukan guna menekan biaya kepatuhan wajib pajak. Penguatan kualitas dan jumlah fiskus atau kantor-kantor pajak di daerah juga perlu dipertimbangkan sehingga wajib pajak di daerah dapat terjangkau dan tergali dengan baik potensinya sebab jumlah fiskus dan wajib pajak masih belum seimbang.
Pemberian insentif fiskal terhadap wajib pajak seperti tax holiday dan tax allowances juga perlu dipertimbangkan karena tidak semua kebijakan tersebut efektif menaikkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menggerus penerimaan pajak. Pengelolaan pajak memang memerlukan suatu grand design yang cukup baik dan dilakukan berdasarkan situasi ekonomi yang terjadi, tetapi pengelolaan pajak yang baik dan tepat akan meningkatkan kesejahteraan dalam bernegara dan bermasyarakat. Karena layaknya cinta dan kematian, pajak adalah suatu hal yang penting dan pasti terjadi dalam kehidupan ini. (Ibnu Abrar, Mahasiswa D3 Akuntansi PKN STAN)