RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Indonesia kembali mengirim tim nasional dalam ajang kejuaraan dunia sepakbola jalanan Homeless World Cup (HWC) di Cardiff City, Inggris. Timnas Indonesia menjadi bagian dari 64 tim dari 50 negara dalam kompetisi yang dimulai pada 27 Juli hingga 3 Agustus 2019.
Membawa misi khusus sebagai media kampanya ‘Indonesia tanpa Stigma’, khusunya baginya orang dengan HIV-AIDS dan konsumen narkoba. Melalui keikutsertaannya, setiap anggota timnas diharapkan memberi pengaruh dan menjadi agen perubahan dalam upaya mengikis stigma dan diskriminasi yang kerap dialami pengidap HIV maupun konsumen narkoba.
Rumah Cemara sebagai tempat yang menampung para pengidap HIV-AIDS setiap tahunnya konsisten ikut serta dalam kejuaraan ini. Direktur Rumah Cemara, Aditia Taslim mengatakan, partisipasi Rumah Cemara dalam HWC tahun ini adalah yang ke-9 kalinya.
“Kita ingin memberikan yang terbaik dan selalu hal-hal baru yang bisa dibagikan. Prinsipnya memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu dalam hidupnya,” katanya di Bodypack Jalan Dago, Kota Bandung, Senin (22/7/2019).
Adita menuturkan, isu HIV-AIDS hingga kini masih terasa sensitif untuk didiskusikan oleh publik secara terbuka. Selain itu, pengidapnya kerap terpinggirkan sehingga tidak mendapat kesempatan untuk berkompetisi.
“Kami berharap, sepak bola dapat menjadi pintu untuk keterbukaan itu. Bagaimanapun, sepak bola memiliki bahasa universal dan dapat diterima berbagai kalangan,” terangnya.
Tahun ini, Rumah Cemara sebagai mitra nasional HWC akan mengirimkan delapan pemain dan empat official untuk kejuaraan dunia sepakbola jalanan tersebut. Sebelumnya, pemain yang bergabung sudah melewati serangkaian tes yang dilakukan pada 19 April hingga 8 Mei.
Kriteria pemain yang mengikuti seleksi tahunan ini adalah orang dengan HIV-AIDS, konsumen narkoba, tuna wisma, maupun kelompok dengan terdampak HIV-AIDS seperti LGBT.
Pelatih Albert Rudiana mengatakan, untuk merekrut kedepan pemain tersebut tidak mudah. Sebab ada persyaratan khusus yang harus diperhatikan serta melihat kondisi masing-masing calon pemain. Selain itu, dia juga harus menyatukan visi misi pemain dengan latar belakang yang berbeda.
“Ada yang usianya 19 tahun bahkan 40 tahun. Tidak hanya pria, perempuan juga ada yang tergabung dalam tim,” lanjutnya.
Meski begitu, para pemain tidak merasa canggung ketika mendapatkan porsi latihan yang sama. Dalam latihannya, Albert kerap meminta kepada pemain yang kelelahan untuk istirahat lebih dulu, namun mereka menolak dan menyanggupi porsi latihan yang diberikan. Hal itu diakui Albert membuatnya bangga bisa menjadi bagian dari tim HWC 2019.
“Ini yang membuat saya bangga dengan mereka. Bahagia bisa melatih mereka. Saya tidak melihat materi, tapi ada keinginan merubah stigma yang selama ini melekat,” tandasnya.