Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dihadapkan pada persimpangan jalan melanjutkan hidup. Ada yang berakhir bahagia, tapi tak sedikit bertahan dalam getir, bercerai atau bahkan masuk ke lembah prostitusi. Akar dari permasalahan ini adalah beratnya mengumpulkan keberanian menyuarakan sebuah keresahan.
Bahi Binyatillah Budinnar – Radar Bandung
Aku sempat mempertanyakan hidup aku kok pahit banget. Tapi, sekarang aku lebih bisa menerima dan menjalani hidup mengalir saja meskipun kata orang aku ini PSK (Pekerja Seks Komersial),”
Kalimat itu keluar dari mulut Lisa dalam pertemuan yang terjadi suatu siang, minggu kedua bulan Juli di sebuah cafe di Kota Cimahi. Sesekali ia merapikan rambutnya yang berwarna sedikit kemerahan, menarik nafas dalam-dalam seolah menggali memori yang sudah lama ingin ia lupakan.
Perempuan yang lahir di Sukabumi 20 tahun itu pernah bercita-cita menjadi seorang model yang bisa berjalan di atas lantai peragaan busana. Namun, semuanya harus terkubur karena setahun lalu, selepas lulus sekolah menengah atas (SMA), ia memutuskan untuk menikah dengan seorang duda yang usianya terpaut 15 tahun.
Lisa sadar bahwa itu adalah sebuah keputusan yang besar dan berisiko. Apalagi, lelaki yang mengajaknya ke pelaminan belum setahun dikenalinya melalui media sosial dan hanya bertemu sesekali. Namun, Ia merasa sudah dewasa dan tidak perlu berdiskusi dengan orang tuanya yang sudah bercerai lima tahun lalu.
“Semua keputusan hampir tidak dipikirkan matang. Jujur, waktu itu aku melihat pacar aku baik. Dia ngaku duda dan kerja sebagai pengusaha kontraktor. Jadi aku terima saja, karena segala kebutuhan aku terjamin, lagian udah lama juga saya hidup sendiri tanpa orang tua. Bisa lulus sekolah pun untung lah karena aku ga pinter-pinter amat,” katanya sambil tertawa kecil.
Usai menikah, keduanya menetap di sebuah rumah di pinggiran Kota Jakarta. Sebulan tinggal di sana, kehidupan Lisa berubah drastis saat ia iseng membuka ponsel suaminya yang sedang tidur. Ia terkejut bahwa di dalamnya terdapat banyak pesan romantis dari berbagai wanita.
Dengan perasaan sakit, ia mempertanyakan hal itu kepada suaminya. Alih-alih mendapat penjelasan, sebuah pukulan tepat mendarat di mata sebelah kiri Lisa beserta sumpah serapah yang menjejali telinga.
Peristiwa itu ternyata menjadi sebuah pembuka dari rentetan perilaku serupa dalam kehidupan Lisa. Sedikit saja melakukan kesalahan, meski sepele, maka tamparan atau tendangan terpaksa harus ia terima. Suaminya akan selesai melakukan hal tersebut ketika Lisa sudah tersungkur.
“Kalau bikin kopi kurang gula, aku ditampar. Kalau telat pulang pas belanja bulanan, aku disangka macam-macam, dipukul, ditendang, itu udah biasa. Ga kuat sebenarnya, tapi aku bingung mau cerita ke siapa,” kata Lisa.
Setelah enam bulan muak dengan kekerasan, Lisa akhirnya memberanikan diri untuk pergi. Ia pergi tanpa pamit dengan membawa uang Rp 500 ribu saat suaminya bekerja. Uang itu menghantarkannya menuju salah satu temannya di Kota Cimahi yang ternyata seorang pekerja seks komersial. Temannya itu pula lah yang berhasil membujuknya untuk melakoni pekerjaan serupa meski Lisa sempat menolak. Lagi-lagi, alasan ekonomi yang membuatnya terpaksa mengiyakan.
Saat pertama kali melayani seorang pria, perempuan berkulit kuning langsat ini merasa aneh karena tidak pernah terpikir sekalipun ia menggeluti pekerjaan tersebut. Ada pula perasaan berdosa membayanginya. Namun, jalan pintas yang kerap dilakukan adalah menenggak minuman keras bersama pelanggan.
“Dulu aku takut banget. Tapi kepaksa. Cari kerja susah, ga punya ijazah juga. Jadi ya gitu lah, pengalaman pertama saya bisa lewatin, ga kerasa. Karena emang udah minum (alkohol). Lama-lama udah terbiasa juga, penghasilannya juga lumayan lah, saya dapet Rp 500 ribu semalem,” katanya sambil menghisap sebatang rokok.
Hari demi hari, ia terbiasa melewati malam di kamar hotel bersama lelaki yang menginginkan jasanya melalui aplikasi media sosial. Pengalamannya pun terasah, ia bisa melayani lima pria dalam satu malam.
“Saya agak pilih-pilih sih sebenarnya. Karena dulu pernah dapat pelanggan yang kasar juga. Makanya saya sekarang lebih suka om-om aja. Biasanya mereka baik dan mau ngeluarin banyak uang,” terangnya sambil terkekeh.
Di tengah percakapan, sayup-sayup suara adzan Ashar terdengar di sela tembok cafe. Lisa terlihat bersiap berpamitan sambil sesekali melihat ponsel pintar keluaran terbaru. Rupanya, ada pesan yang masuk dari pelanggannya yang akan segera menjelmputnya. Saat merapikan isi tasnya, terselip lipatan kain mukena.
“Saya shalat dulu yah, abis itu mau siap-siap kerja, hehehe. Tapi, nama asli saya ga ditulis kan? Pokoknya tulis aja Lisa. Saya suka nama itu biar kayak Lisa (Girlband Korea Selatan) Blackpink,” ucapnya sambil melempar senyum.
Terpisah, di sebuah rumah di Desa Panenjoan, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Vanya (bukan nama sebenarnya) disibukkan dengan adonan kue. Dengan teliti ia meracik bahan brownies kukus yang hendak ia jual. Aroma coklat memenuhi seisi ruanagan dapur yang berukuran 3×5 meter. Akhirnya, adonan terakhir diletakan dalam sebuah dengan hati-hati.
Beberapa kali ia menelfon calon pembelinya melalui ponsel. Percakapan yang terjadi kerap diselingi dengan tertawa. Namun, di balik matanya yang berbinar, terselip pula kisah sedih yang dialaminya.
Usaha borwnies yang sudah dilakukan selama hampir tiga tahun belakangan ini tidak terlalu besar. Namun, hasilnya cukup untuk menghidupi dan menyekolahkan tiga anaknya. Satu beranjak kulaih, satu SMA dan si bungsu yang masih SD.
Sudah empat tahun ia memutuskan untuk menjadi single parent. Suaminya digugat cerai karena kerap selalu melakukan kekerasan fisik, bukan hanya kepadanya, tapi anaknya juga. Berkali-kali ia memaafkan, namun momen anaknya ditampar membulatkan tekadnya untuk berpisah.
“Dulu rumah tangga saya baik-baik saja. Tapi, setelah suami saya dipecat dan tidak bekerja, perlakuannya kasar. Dulu saya memaklumi, mungkin karena dia stress. Tapi caranya yang melampiaskan ke anak, itu ga bisa saya terima,” katanya.
Tidak seperti Lisa, ia memilih untuk memillah kehidupan rumah tangganya. Alasannya, hidup harus terus berjalan meski awalnya sulit membiasakan diri. Terlebih, gosip tetangga yang kadang membuatnya selalu merasa tidak memiliki dukungan.
Anak-anaknya lah yang membuatnya bisa tegar. Maka dari itu, berbekal keahliannya memasak kue hasil studinya di sebuah universitas swasta di Kota Bandung, ia meimilih bergelut menjadi wiraswasta.
“Saya dulu ga bisa curhat, karena kan ini aib yah. Tapi lama-kelamaan, saya bisa hadapi itu. Alhamdulillah, meskipun belum besar, tapi penghasilan saya cukup untuk sekolah anak,” ucapnya sambil berlalu dan mengakhiri percakapan karena harus mengantarkan pesanan kue.