RADARBANDUNG.id, KERESAHAN – Terlihat dalam International Penguin Conference di Dunedin, Selandia Baru, pekan lalu. Mereka khawatir dengan keselamatan penguin di bumi. Satu masalah yang dianggap paling mendesak. Selfie.
Ya, pakar-pakar yang menghadiri konferensi itu lebih khawatir soal potret yang beredar di media sosial daripada tingkat air laut yang naik karena pemanasan global. “Kita sudah benar-benar tak menghormati alam. Tak mengerti apa arti kata tersebut,” ujar Philip Seddon, direktur program pelestarian satwa liar di Otago University, kepada The Guardian.
Teror kamera yang dilakukan manusia kepada hewan boleh dibilang lebih menakutkan daripada faktor lainnya. Menurut Seddon, aksi swafoto itu sering mengganggu keseharian satwa seperti momen berburu dan makan atau berkembang biak.
Yang menakutkan, selfie dengan hewan menyebar seperti wabah. Jika ada seseorang yang berhasil mendapat foto bersama binatang eksotis, yang lain pasti ingin ikut-ikut.
Masyarakat biasanya ingin sesuatu yang lebih. Kalau foto sebelumnya menunjukkan satwa di latar belakang, mereka ingin lebih dekat. Kalau sudah ada foto jarak dekat, mereka ingin berpose sambil membelai atau memeluk. Soal bahaya racun, virus, atau diterkam, itu urusan nanti.
“Dari dulu, manusia selalu suka sesuatu yang berbeda dan berbahaya. Sesuatu yang bisa dibanggakan dan mendapat like di Instagram,” kata Erin Vogel, pakar psikologi di University of California, San Francisco.
Pemandangan menakutkan itu sering dilihat Phillipa Agnew. Manajer lingkungan dan penelitian koloni penguin biru di Oamaru itu sering melihat turis menghadang penguin yang ingin berenang ke laut. Mereka biasanya mengejar penguin tersebut dan memeluknya.
Kalau sudah begitu, penguin biasanya stres dan membatalkan rencananya. Padahal, bisa jadi ia sedang berusaha mencari makan untuk anaknya. “Mungkin mereka tak terlihat stres. Tapi, kenyataannya jelas berbeda,” ungkap Agnew.
Saking dongkolnya, dia melarang penggunaan kamera untuk pengurusan koloni yang sedang ditangani. Larangan itu juga berlaku kepada turis maupun stafnya. Meski sering berurusan dengan burung imut itu, Agnew pun tak boleh berfoto ria.
“Intinya, tak boleh ada sinar atau suara aneh yang membuat mereka terganggu,” tegasnya.
Sebenarnya, berfoto dengan binatang eksotis boleh-boleh saja. Asal, menurut World Animal Protection, aturannya ditaati. Binatang tak boleh didekati, diganggu, apalagi disentuh. Kalau sampai mengganggu habitat atau kegiatannya, berarti Anda melakukan kekerasan terhadap binatang liar.
Isu foto dengan satwa liar juga disinggung dalam Convention on International Trade in Endangered Species bulan lalu. Gara-gara masalah tersebut, dua spesies berang-berang dimasukkan kategori terancam punah. Foto-foto berang-berang itu beredar selama beberapa dekade terakhir dan membuat banyak orang ingin memilikinya.
“Populasi mereka makin punah karena keinginan orang untuk memelihara berang-berang. Dan media sosial benar-benar menyulut keinginan itu,” ujar kepala Kampanye Wildlife Not Pets di World Animal Protection kepada Agence France-Presse.
Banyak berang-berang di Asia Tenggara yang ditangkap dan dikirim ke Jepang. Di sana, satu ekor bayi berang-berang dihargai USD 10 ribu (Rp 142 juta). Mereka biasanya dibeli untuk memenuhi kafe berang-berang yang sedang ngetren di sana.