RADARBANDUNG.id, MINGGU – (1/9/2019) penduduk Kota Taiji, Prefektur Wakayama, Jepang, memulai perburuan lumba-lumba. Mereka menggunakan teknik drive hunting yang kontroversial. Yaitu, menggiring dan memojokkan buruan sebelum akhirnya membunuhnya ramai-ramai.
Jam menunjukkan sekitar pukul 05.00 saat 12 kapal kecil meninggalkan pelabuhan Kota Taiji, Prefektur Wakayama, Jepang, Minggu (1/9/2019). Itu adalah hari pertama musim perburuan lumba-lumba di Taiji. Musim tersebut berlangsung selama enam bulan ke depan dengan kuota maksimal 1.700 lumba-lumba, hidup atau mati.
“Berkat petugas keamanan, kami bisa berburu dengan mudah,” ujar Teruto Seko, kepala koperasi perikanan Taiji, seperti dikutip Japan Today.
Situasi di Taiji memang sempat tegang menjelang musim perburuan. Mereka takut aktivis lokal maupun internasional akan berkumpul di pelabuhan. Pos polisi sementara, petugas kepolisian, dan personel penjaga pantai Jepang ditempatkan di dekat area pelabuhan untuk berjaga-jaga.
Namun, kekhawatiran itu tak terbukti. Hanya ada 10 aktivis pencinta binatang yang berunjuk rasa. Jauh dari perkiraan petugas keamanan.
Tahun-tahun sebelumnya, pelabuhan itu dipenuhi demonstran ketika musim perburuan lumba-lumba dimulai. Sebab, perburuan yang dilakukan penduduk Taiji dianggap sadis. Dengan drive hunting, para nelayan berburu secara berkelompok. Mereka mencari lokasi berkumpulnya lumba-lumba dan menggiring mereka ke teluk yang sempit.
Nelayan menggunakan perahu yang lebih kecil dan jaring agar lumba-lumba tak kembali ke laut lepas. Begitu terkumpul, lumba-lumba itu ditombak satu per satu. Ada pula yang mati karena terkena baling-baling perahu nelayan.
Kapal-kapal yang digunakan untuk menangkap lumba-lumba (Kyodo/Japan Today)
Hewan mamalia itu pun meregang nyawa selama 30 menit sebelum akhirnya mati dan dinaikkan ke kapal-kapal nelayan. Teknik perburuan tersebut dianggap keji. Drive hunting di Taiji menjadi sorotan setelah film dokumenter The Cove memenangkan piala Oscar 2010.
Saat ini nelayan tak membunuh semua lumba-lumba. Sebagian ditangkap hidup-hidup untuk dijual ke akuarium dan taman laut. Harga lumba-lumba hidup lebih mahal jika dibandingkan dengan penjualan dagingnya.
Dijual hidup-hidup bukanlah sebuah keberuntungan bagi para lumba-lumba. Di laut lepas, mereka bisa hidup hingga 60-70 tahun. Nah, di akuarium dan taman laut, mayoritas hanya mampu hidup hingga usia 8 tahun. Para lumba-lumba itu stres dan akhirnya bunuh diri.
Media lokal menyebut perburuan hari pertama itu tidak membuahkan hasil. Namun, kelompok The Dolphin Project menyatakan hal berbeda. Nelayan yang pulang Senin (2/9/2019) berhasil mendapatkan lima lumba-lumba Risso. Klaim itu didukung foto-foto perburuan yang berhasil mereka abadikan dan mereka unggah di akun Twitter resmi The Dolphin Project.
Akuariun dan taman-taman laut kini enggan membeli lumba-lumba dari Taiji. Itu terjadi karena adanya dorongan dari para pencinta binatang agar tak membeli lumba-lumba yang ditangkap dengan cara yang keji tersebut.
Selain lumba-lumba, perburuan ikan paus masih marak di Jepang. Berbeda dengan lumba-lumba, perburuan paus dimulai sejak 1 Juli lalu.