RADARBANDUNG.id PERJUANGAN – perempuan Sunda di zaman Hindia Belanda jadi benang merah pada pertunjukan monolog ‘Wanodja Soenda’. Berlangsung di Hotel Bidakara Grand Savoy Homann, pertunjukan ini disutradarai oleh Wawan Sofwan. Wanita Sunda yang jadi inspirasi pada pertunjukan monolog ini adalah Dewi Sartika, Lasminingrat, dan Emma Poeradiredja.
Diperankan oleh Sita Nursanti (Dewi Sartika), Maudy Koesnaedi (Lasminingrat), dan Rieke Dyah Pitaloka (Emma Poeradiredja), pertunjukan ini menghadirkan suasana Bandung di era tahun 1930-an dan mengisahkan tentang semangat perlawanan dari para wanita Sunda di penjajahan Belanda dan Jepang.
Pentas dibuka dengan pembacaan puisi oleh Atalia Kamil. Mengenakan kebaya bermotif floral, Atalia tampak cantik dan tekun membacakan syair-syair puisi yang indah. Dipadukan dengan selendang merah dan kerudung berwarna hitam, tata cahaya yang on point membuat penampilannya terasa sesuai.
Monolog dipandu oleh seorang narator yang membawa jalan cerita perjuangan tiga wanita Sunda. Inaya Wahid dipercaya menjadi narator dan satu per satu menjelaskan garis besar perjuangan dari masing-maisng wanita tersebut.
Penampilan Rieke Dyah Pitaloka bermonolog dimulai. Rieke yang tampil sebagai Emma Poeradiredja tampak lantang menceritakan perjuangan Emma dalam meraih keinginan dalam memajukan perempuan. Pada cerita Emma berjuang bagaimana perempat dimasa penjajahan bisa membaca dan berhitung.
Ia bahkan sampai membuat Pasundan Istri, perkumpulan para wanita yang dia dirikan. Terbentuk pada 30 April 1930, perkumpulan ini berjuang dalam meraih kemerdekaan. Karena menurutnya perempuan adalah penyangga suatu bangsa dan mitra laki-laki dalam membangun masyarakat.
Wanita Sunda hebat lainnya adalah Dewi Sartika. Penyiar, Sita Nursanti dipercaya menceritakan bagaimana perjuangan Dewi Sartika dalam mencerdaskan para perempuan di zaman penjajahan, meski mendapat tentangan dari orang sekitarnya.
Pada zaman penjajahan, Dewi yang tergerak karena banyak perempuan yang tidak bisa membaca akhirnya membuat Sakola Istri. Di sana dia mengajarkan berbagai kemampuan mulai dari membaca, menulis, sampai pekerjaan rumah tangga.
Sita mengaku dalam memainkan peran Dewi Sartika ada ketakutan karena ada banyak stereotip dan pandangan tertentu tentang sosok Dewi Sartika. “Memainkan kisah biopik itu susah buat saya. Karena orang banyak yang sudah tau bagaimana perjuangan Dewi Sartika, takutnya ketika dimainkan ekspektasinya jadi berbeda,” katanya ditemui selepas pentas, di Hotel Bidakara Savoy Homann, Selasa (28/01/2020).
Sita yang banyak membaca biografi Dewi Sartika harus menghafal 9 lembar masalah monolog. Rupanya, ini bukan kali pertama Sita memerankan tokoh Dewi Sartika. Tahun 2016 dia pernah bermain dalam produksi drama musikal yang membawakan cerita tentang perjuangan perempatan asal Jawa Barat tersebut.
“Pergerakannya ini betul-betul ada perempuan hebat, Dewi Sartika adalah salah satu perempuan yang real dengan intelegensi tinggi,” sambungnya. Selain Sita dan Rieke, aktris Maudy Koesnaedi juga tampil apik membawakan peran sebagai Lasminingrat.
Sutradara, Wawan Sofwan mengungkapkan semula pentas monolog ‘Wanodja Soenda’ akan menghadirkan 4 wanita. Selain Dewi Sartika, Emma Poeradiredja, dan Lasminingrat, tokoh Siti Zaenab juga akan hadir. Namun karena minimnya pemain, Wawan tidak jadi mementaskannya.
Wawan menyebut naskah untuk monolog ini sudah ada sejak lama. Ia mengubah naskah yang semula teater menjadi monolog dengan permainan kata dan kalimat yang padat. Masing-masing tokoh bermonolog selama 30 menit, membawakan kisah perjuangan yang berat.
Kemudian, ketiga wanita Sunda ini menurut Wawan sudah mewakili perjuangan perempuan-perempuan di Indonesia, khususnya tanah Pasundan dalam hal kebudayaan, politik dan pendidikan. Meski berbeda periode, Wawan merasa para pemain sudah total dalam menjiwai peran diatas panggung.
“Lasminingrat itu awal pergerakam perempuan di tanah Sunda. Kemudian Dewi Sartika ada bersinggungan dengan masanya Lasminingrat. Terakhir, Emma mewakili generasi muda untuk saat itu, ya intinya bisa menggambarkan posisi sunda pada saat zaman penjajahan,” tandasnya.