RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Parahyena adalah grup akustik pop/ballad asal Bandung. Grup musik yang terbentuk sejak 11 Juli 2014 ini berawal dari pertemanan di salah satu kampus di Bandung. Terbentuk karena ketidaksengajaan, Parahyena akhirnya menjadi sebuah grup musik dengan genre akustik yang cukup populer dikalangan anak muda.
Akustikan identik dengan petikan gitar yang mendominasi. Genre ini biasanya jadi alternatif dikala format band mendominasi pasar musik indie. Personil Parahyena terdiri dari Sendy (vokal, guitalele), Radi Tajul Arifin (gitar, vokal latar), Saipul Anwar (contrabass), Cep Iman (violin), Fajar Aditya (cajon), dan Hendri ‘ekek’ (bangsing).
Beberapa musisi seperti Aulaga Folk dan The Cake adalah inspirasi mereka dalam bermusik. Keenam pemuda ini juga menyukai karya musisi Indonesia seperti Sweaty Family, Netral, Bing Slamet, R Azmi, Gamelan, dan Mr Sonjaya.
“Awalnya nama band ini bukan Parahyena, tapi Cucu and the Tangkal Nangka. Terinspirasi dari salah satu sahabat kita namanya Cucu yang suka melamun dibawah pohon nangka,” kata vokalis Parahyena, Sendy pada DCDC Pengadilan Musik di Kantination The Panas Dalam Jalan Ambon, Jumat (28/02).
Melihat nama yang sangat panjang, akhirnya keenam pemuda ini mengganti namanya menjadi Parahyena. Diambil dari dua suku kata, Para dan Hyena. “Ada beberapa sifat karakter yang diambil jadi filosofi spirit, satwa Hyena,” sambungnya.
Dalam perjalanannya, Parahyena merilis single perdana dengan judul ‘Penari’ di tahun 2014. Pada lagu ini mereka mulai mencoba meramu dan mengemas musik akustik dengan sentuhan warna etnik.
Melalui single ini Parahyena mencoba untuk memberi pilihan baru yang lain bagi penggemar musik folk sekaligus menjadi penanda identitas bagi musik Parahyena. Setahun kemudian, mereka kembali merilis single kedua berjudul ‘Ayakan’. Lirik pada lagu ini menggunakan teknik ‘Paparikan’ yaitu salah satu teknik dalam penulisan puisi dalam sastra Sunda yang dikombinasikan dengan lirik berbahasa Inggris.
Kultur musik yang nyaris berbeda dari tiap personilnya justru menjadi sebuah keseruan yang membangun warna musik parahyena itu sendiri. “Dalam praktek bermusiknya, kami mengadaptasi elemen musik-musik tradisional nusantara dan menggabungkannya dengan gaya musik atau genre dari pada musik barat dan timur secara umum,” terangnya.
Single ketiga berjudul ‘Dibawah Rembulan’ dirilis pada tahun 2016. Pada lagu ini Parahyena memasukan unsur seni bernyanyi ‘beluk’ khas sunda yang disisipi lirik berbahasa sunda. 3 Agustus 2016, Parahyena resmi meluncurkan album pertama dengan judul ‘Ropea’. Nama Ropea memiliki arti memperbaiki atau memperbaharui dalam bahasa Sunda.
Melalui album ini Parahyena semakin memperlihatkan karakter musik mereka. Musik yang diperoleh dari beberapa unsur tradisi yang ditransformasikan menjadi sebuah karya pop folk yang unik.
Tahun 2019, Parahyena mengeluarkan album kedua berjudul ‘Kirata’. Album ini adalah bentuk respon Parahyena, selama proses pengerjaan album yang memang mempraktekan pola membuat lagu lebih dahulu, ketimbang judulnya.
“Kirata merupakan akronim dari ‘di kira-kira tapi nyata’. Bentuk musikalitas khas nusantara (timur) disenyawakan dengan musik dari genre (barat) secara umum dan dieksplorasi bukan sebagai bentuk terasing, melainkan warna unik berbaur harmonis dalam kesatuan,” terang Sendy.
Paling baru, diawal tahun ini mereka mengeluarkan single berjudul ‘Celementree’ dengan video klip yang disutradarai oleh SWKRS. Tujuh lagu instrumental dengan racikan gipsy, melodic core, swing, arabic, latin, melayu dan lainnya, oleh Sendy dan kawan-kawan diramu dengan bumbu nusantara.
Musik ini menghadirkan ruang kreasi bebas terutama dalam keterbukaan pikiran serta penuangan yang menjadi titik utama Parahyena bagikan.
Pada edisi ke-41 DCDC pengadilan musik, Parahyena didakwa dan dibredeli sejumlah pertanyaan. Mereka diadili oleh dua Jaksa Penuntut, yaitu Budi Dalton dan Pidi Baiq. Kursi Pembela oleh Yoga (PHB) dan Ruly Cikapundung. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang Hakim yaitu Man (Jasad) dan jalannya persidangan diatur oleh Eddi Brokoli sebagai Panitera.
Keunikan Parahyena dalam menggabungkan musik etnik timur dan barat menjadi alasan DCDC memilih mereka untuk dipublikasikan dalam gelaran ini. Perwakilan DCDC, Dikki Dwisaptono mengatakan setelah merilis single Celementree, Parahyena sempat membuat showcase yang unik. Konsep drama musikal yang tidak lumrah, oleh mereka dikemas menarik.
“Kemarin mereka sempat bikin showcase unik. Kemudian komposisi musik yang memasukan unsur tradisional dan modern juga jadi alasan kami memilih mereka sebagai bintang tamu di DCDC Pengadilan Musik malam ini,” katanya.
Katanya, dalam proses pemilihan grup band ada banyak komposisi yang harus dimiliki. Salah satunya adalah terus berkarya dan bukan cover musik. “Mereka adaptasi genre musik timur ke barat atau sebaliknya. Meski begitu jalurnya tetap ada di indie,” ungkapnya.
Senada dengan Dikki, perwakilan Atap Promotions, Uwie Fitriani menyebut kehadiran Parahyena di DCDC pengadilan musik, diharapkan bisa mewakili generasi anak muda yang inovatif dan penuh kreasi.
“Polanya kami sudah tau. Jadi mereka sebelumnya sudah kami pantau lebih dulu. Kemarin mereka sempat bikin showcase yang berbeda, terus baru saja merilis single baru. Jadi itu beberapa alasan kami memilih Parahyena sebagai terdakwa kali ini,” tuturnya. (fid/b)