RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) palsu harus segera ditertibkan pemerintah. Ini penting dilakukan untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
“Benahi dulu LPTK, Pak Dirjen tolong melaporkan kepada Mas Menteri harus ada keberanian untuk menghentikan atau mentutup LPTK abal-abal itu. Tentukanlah parameternya. Kita harus berani melawan arus,” kata Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) sapaan Enggartiasto Lukita melalui siaran pers yang diterima.
Hal ini mengemuka pada webinar bertajuk “Reformasi LPTK untuk Pendidikan Bermutu” yang diprakarsai IKA UPI dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 belum lama ini.
Webinar menghadirkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Iwan Syahril, Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UPI Solehuddin, dan guru berprestasi tingkat nasional dari SMP Negeri 5 Tasikmalaya Ai Tin Sumartini.
Selain menyoroti keberadaan LPTK “abal-abal”, Enggar juga mengkritik PPG yang menempatkan sarjana pendidikan pada posisi yang sama dengan sarjana non-kependidikan. Menurutnya, menyamakan sarjana pendidikan dan non-kependidikan dalam kegiatan PPG merupakan kekeliriuan.
Pasalnya, sarjana pendidikan sudah terlebih dahulu ditempa ilmu pendidikan selama perkualihan. Proses itu seolah-olah tidak ada artinya pada saat PPG dipersamakan dengan lulusan non-kependidikan.
“Kami tidak ingin membedakan antara LPTK negeri dan swasta. Ada banyak juga LPTK swasta yang bagus. Tapi yang abal-abal tadi kelewat banyak,” ujar mantan Menteri Perdagangan itu.
Di bagian lain, Enggar mengingatkan, kebijakan “Merdeka Belajar” yang menekankan pada pengembangan potensi murid harus turut mempertimbangkan banyak aspek. Proses belajar berkualitas membutuhkan prasyarat tidak mudah karena terdapat ketimpangan kualitas guru dan perbedaan daya dukung daerah.
“Indonesia bukan Jakarta, Indonesia bukan Jawa. Apakah seluruh daerah bagian dari Repubik ini sudah puya akses yang sama? Karena harusnya teknologi informasi ini harus terjangkau sampai ke pelosok,” imbuhnya.
Problem akut LPTK juga diulas Rektor UPI Asep Kadarohman maupun dua pembicara lainnya. Asep menilai disparitas mutu LPTK sudah menjadi permasalahan lama. Data 2019, di Indonesia terdapat 425 LPTK. Dari jumlah itu, 45 LPTK di antaranya berstatus negeri. Ini berbeda dengan Malaysia, Singapura, atau Philipina yang memiliki lebih banyak LPTK negeri.
Masalah berikutnya, oversupply akibat banyaknya program studi di LPTK. Sampai 2019, terdapat 5.998 program studi kependidikan, dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,480 juta. Setiap tahunnya terdApat sekitar 250 ribu lulusan.
Selain itu, pendidikan profesi guru berbede dari kelaziman pendidikan profesi lainnya. Profesi dokter misalnya pada pendidikan profesi dokter, pendidikan akademik dan profesi dilakukan secara terintegrasi. Tata kelola pendidikan guru juga dianggap tidak selaras dengan regulasi dan perundang-undangan.
“Perundang-undangan menyatakan bahwa pendidikan guru dilaksanakan secara berasrama dan ikatan dinas. Faktanya tidak demikian,” Asep menyesalkan.
Terkait oversupply lulusan LPTK ini, Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas Amich Alhumami menilai perlu adanya pengendalian pertumbuhan LPTK swasta dan jumlah mahasiswa. Ini penting untuk menjaga keseimbangan supply-demand guru. Amich mencatat, secara kumulatif lulusan LPTK selama kurun 2012-2017 mencapai 1,94 juta. Sementara rekrutmen guru PNS pada periode yang sama hanya sebanyak 142.232 orang. Padahal, dari jumlah tersebut, 123.531 orang di antaranya direkrut dari guru honorer.
Secara keseluruhan, kebutuhan rekrutmen guru PNS, baik untuk menggantikan guru pensiun maupun menambah guru untuk sekolah baru, jauh lebih sedikit dibanding jumlah lulusan LPTK. Jumlah mahasiswa LPTK sangat besar melampaui kebutuhan. Karena itu, perlu pengendalian penerimaan mahasiswa LPTK secara lebih ketat, sekaligus untuk menjamin kualitas lulusan secara lebih baik.
Amich menilai menyebut upaya lain yang mendukung peningkatan kualitas lulusan LPTK adalah seleksi penerimaan calon mahasiswa LPTK mulai diperketat dan menyaring sesuai “passion” di bidang keguruan untuk dididik menjadi guru profesional. Sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa melalui SNMPTN LPTK. Pada saat yang sama, melakukan pembatasan kuota untuk calon mahasiswa baru setiap prodi pada LPTK berdasarkan hasil akreditasi prodi LPTK.
Sementara itu, Dirjen GTK Iwan Syahril mengungkapkan, sertifikasi dalam jabatan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir sukses mengantarkan sekitar 1,8 juta guru mendapatkan sertifikat pendidik. Program ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 5,5 triliun dan Rp 523 triliun lainnya sebagai tunjangna profesi guru atau tunjangan sertifikasi sejak 2006 hingga 2019. Dalam lima tahun terakhir, tunjangan profesi guru mencapai 12-18 persen dari total anggaran pendidikan nasional.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah program tersebut sudah menghasilkan dampak atau outcomes yang diinginkan? Mengutip laporan studi randomized experiment berskala besar yang dilakukan The World Bank, Iwan menyebut program sertifikasi guru Indonesia tidak berdampak pada hasil belajar siswa. Padahal, sambung Iwan, siswa merupakan puncak dari hasil kegiatan pendidikan.
“Meminjam analogi Pak Presiden Jokowi, menjalankan program pemerintah itu seperti menggunakan aplikasi WhatsApp. Sebuah pesan akan terkirim, lalu kemudian sampai atau delivered. Program harus lebih banyak delivered, dari sekadar sent,” tegas Iwan yang baru dilantik menjadi Direktur Jenderal GTK pada Jumat pekan lalu.
Tak hanya itu, mengutip Studi Video TIMSS pada 2015 lalu, Iwan menilai tidak adanya perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru bersertifikasi dengan guru-guru bersertifikasi. Malah guru-guru bersertifikasi cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru.
Rendahnya outcomes juga tampak jelas dari skor assesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil assesmen menunjukkan tidak adanya peningkatan secara konsisten dan signifikan pada performa siswa Indonesia. Bahkan, performa siswa Indonesia pada PISA 2018 menurun dibanding 2015 lalu. (rls/dbs)