RADARBANDUNG.id, CANGKUANG – Bendungan Hantap Ciherang di Desa Nagrak, Cangkuang, Kabupaten Bandung menjadi salah satu lokasi wisata alternatif warga.
Penjaga operasional Bendung Dinas SDA /Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, Adang mengatakan, bendungan itu berdiri sejak tahun 1919 atau lebih tepatnya saat zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Adapun untuk sumber airnya, berasal dari Gunung Wayang Windu yang mengalir ke wilayah Situ Cileunca kemudian PLTA Lamajang hingga ke bendungan ini.
“Setiap hari ada pengunjung, cuma untuk Sabtu Minggu paling banyak. Pemandangan masih asri, banyak pengunjung dari luar Kabupaten Bandung hingga luar kota,” ujar Adang di Bendungan Hantap Ciherang, Cangkuang, Minggu (14/2).
Selain spot pemandangan yang cocok untuk berfoto, juga ada wahana arum jeram yang warga sekitar. Ke depannya, ungkap Adang, memang akan ada pengembangan pariwisata yang Bumdes setempat lakukan dan juga program penghijauan.
Untuk menikmati Bendungan Hantap Ciherang, warga tidak dipungut biaya apapun alias gratis.
“Debit air enggak dihitung, hanya dihitung limpasan saja. Misalnya 32 maka ada 86 ribu liter per detik yang masuk, kedalamannya juga enggak rata. Terdapat lima irigasi untuk mengairi sawah warga,” tutur Adang.
Adang menuturkan bahwa petani sekitar memanfaatkan air pada bendungan ini untuk mengelola lahan pertaniannya. Dulu, Bendungan Hantap Ciherang mampu mengairi luas sawah sekitar 2.711,35 hektare.
Baca Juga:
- Puncak Suji, Potensi Terpendam Wisata Alam Cicalengka
- Pariwisata Kabupaten Bandung Terpuruk, Disparbud Siapkan Rapid Test Antigen Gratis
- Lagi, Kabupaten Bandung Punya Destinasi Wisata Baru
Namun, karena saat ini banyak alih fungsi lahan persawahan untuk dijadikan lahan pemukiman, membuat luas area daerah irigasi Bendung Hantap Ciherang ini menjadi 2.160 hektare.
“Kemungkinan pasti akan turun lagi, karena sesuai dengan deret ukur laju pertambahan penduduk,” jelas Adang.
Ia berharap wilayah hijau yang ada di sekitar bendungan bisa terus dijaga dan dipertahankan. Artinya, jangan sampai diubah menjadi wilayah permukiman.
“Saya kasihan untuk anak-anak kita kedepannya bagaimana. Kecuali tanah yang tandus, kering atau tidak bisa dimanfaatkan,” pungkas Adang.
(fik)