News

Kampung Sepatu Paletok, ‘Mini Cibaduyut’ di Bandung Selatan

Radar Bandung - 26/08/2021, 21:44 WIB
AY
Ali Yusuf
Tim Redaksi
Salah seorang pengrajin sedang menyelesaikan pembuatan sendal gunung dari Sixtynine Project di Kampung Paletok, Babakan Gombong, Desa Sukajadi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Dalam seminggu industri rumahan ini bisa membuat hingga seribu pasang sendal. (NUR FIDHIAH SHABRINA/RADAR BANDUNG)

RADARBANDUNG.id, BANDUNG– Kampung Paletok di Babakan Gombong, Desa Sukajadi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, puluhan tahun menjadi sentra kerajinan sepatu.

Kerap disebut ‘Mini Cibaduyut’, produksian sepatu di Kampung Paletok bahkan sudah menembus pasar dalam dan luar negeri. Beberapa jenama sepatu terkenal juga memproduksi sepatunya di sini.

Sebelumnya, sentra kerajinan sepatu paling terkenal adalah Cibaduyut. Wajar saja, sejak era 1920an banyak warga yang bekerja di pabrik sepatu kemudian keluar dan memutuskan memproduksi sepatu sendiri. Sampai akhirnya, ‘lulusan’ Cibaduyut ini berkembang hingga berbagai daerah.

Salah satunya Kampung Paletok yang sekarang produksi sepatunya bisa menyamai Cibaduyut.

Paletok merupakan istilah yang artinya membuat sepatu dalam bahasa Sunda. Sejak tahun 1980an, warga sekitar sudah menamai daerahnya sebagai Kampung Paletok.

Salah seorang perajin sepatu di Kampung Paletok adalah Dedi Efendi. Pria yang kerap disapa Papep ini sudah puluhan tahun bekerja sebagai perajin sepatu.

Orderannya pun datang dari mana-mana, tidak cuma brand baru tapi juga brand yang sudah punya nama besar.

Papep menyebut, pekerjaan ini turun temurun dari orangtuanya. Ia masih ingat betul, bagaimana waktu kecil sepulang sekolah ia belajar membuat sepatu di tetangga rumahnya. Sampai akhirnya bisa membuat sepasang sepatu berkualitas tinggi.

“Anak muda di sini pasti belajar bikin sepatu. Istilahnya tukang asli selalu bawa asisten, jadi setiap tahun pasti ada bibitnya. Dari sanalah regenerasinya,” kata Papep.

Ia mengungkapkan, sepatu pertama yang ia berhasil buat adalah sepatu jenis pantofel. Terbuat dari kulit hewan asli, pantofel itu kini membawa Papep pada produksian sepatu lainnya dengan jumlah besar.

“Bila belajar serius dalam 3 bulan sudah bisa berbagai proses bikin sepatu termasuk jahitan yang sulit dari atas sampai bawah (goodyear welted construction),” jelasnya.

Baca Juga: Kampung Walagri, Program Pemulihan untuk ODGJ di RSJ Jabar

Begitu besar, anak-anak kecil membuat industri rumahan sendiri dan mendidik warga lain yang ingin belajar. Kata Pepep, dalam satu industri rumahan memiliki sekitar 30 perajin. Para perajin ini tidak semuanya bekerja di bengkel sepatu.

Sebagai warga membawa pulang pekerjaannya, seperti menjahit upper. Biasanya, mereka datang ke bengkel untuk mengambil bahan baku. Lalu, mereka pulang dan mengerjakan di rumahnya. Setelah selesai mereka akan kembali untuk membawa hasil sepatu dan menerima bayaran.

Baca Juga: Warga Kampung Sukawangi Jelegong Gantungkan Hidup dari Bata Merah

Papep pun tidak langsung memulai bisnis sebagai perajin sepatu. Setelah lulus SMK, ia mengadu nasib ke Jakarta, menjadi buruh di salah satu pabrik sepatu. Beberapa tahun kemudian, ia kembali dan memulai bisnis rumah produksian sepatu.

Ia mengerjakan berbagai jenis sepatu. Papep punya 25 perajin yang bekerja di bengkel sepatunya, dan semuanya adalah warga sekitar Kampung Paletok. “Saat ini kami sedang mengerjakan produk sandal (Korea) yang lagi tren,” imbuhnya.

Pandemi Covid-19 yang terjadi, disebutkan Papep tidak mengurangi jumlah produksian sepatunya. Ia bahkan bersyukur, pandemi ini orderan sepatu yang mampir di industri rumahan miliknya meningkat tajam.

(fid)