RADARBANDUNG.id, BANDUNG- Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung mencatat selama 30 tahun, jumlah total kasus HIV/AIDS mencapai 5.843 kasus. Dari jumlah itu, diantaranya mahasiswa. Sementara paling banyak faktor risikonya yakni hubungan heteroseksual.
“Jika dirata-ratakan per tahun, kasus HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 300-400 kasus. Paling banyak faktor risikonya yakni hubungan heteroseksual,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani dikutip dari laman resmi Pemkot Bandung, Sabtu (27/8/2022).
Menurutnya, jumlah kasus itu dikumpulkan berdasarkan laporan selama 30 tahun dari 1991-2021. Jumlah total kasus HIV/AIDS hingga Desember 2021 mencapai 5.843, sebesar 6,97 persennya mahasiswa atau terdapat 407 kasus.
Baca Juga: 330 Kasus HIV/AIDS di Bandung Barat
Sementara, dari data yang dikumpulkan Dinkes Kota Bandung sepanjang 30 tahun terakhir itu, usia paling banyak yang terkena HIV/AIDS adalah 20-29 tahun. “HIV ini perjalanan penyakitnya 3-10 tahun. Kalau daya tahan tubuhnya tidak baik, 3 tahun dia sudah menunjukkan gejala ke arah AIDS. Kalau daya tahan tubuhnya bagus, baru bisa kelihatannya 10 tahun kemudian,” jelasnya.
Menurutnya, kasus HIV/AIDS di Kota Bandung terlihat seperti fenomena gunung es. Kondisi ini bisa semakin diperparah dengan stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat terhadap para pengidap HIV/AIDS.
Baca Juga: 394 Orang di Bandung Barat Mengidap HIV/AIDS, Seks Bebas jadi Pemicu
Semakin cepat penyakit ini bisa dideteksi, maka harapan hidup sehat dan produktif bagi para pengidap HIV/AIDS bisa semakin tinggi. “Meskipun tidak bisa sembuh, tapi bisa berkurang sampai tidak bisa terdeteksi atau undetectable. Kalau tidak terdeteksi, dia tidak bisa menular. Makanya kita mesti cari yang HIV/AIDS karena kalau tidak, nanti terlihatnya seperti fenomena gunung es,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ira menjelaskan, ada faktor lain yang menyebabkan kasus HIV/AIDS. Selain seks bebas dan penyalahgunaan napza, penularan dari ibu ke anak, serta tenaga medis yang mengalami kecelakaan kerja juga menjadi salah satu faktornya.
“Orang itu baru bisa didiagnosa HIV setelah dia melakukan tes karena tidak ada tanda dan gejala spesifik bagi orang yang terkena HIV. Namun, biasanya para pengidap ini malu untuk tes HIV/AIDS,” tutur Ira.
“Maka dari itu, kita harus hilangkan dulu stigma dan diskriminasinya agar seseorang itu mau untuk dites HIV,” imbuhnya. Dengan demikian orang tersebut bisa hidup lebih produktif dan tidak masuk ke fase AIDS. Mata rantainya bisa diputus dengan pengobatan.