RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Kasus suap yang menjerat mantan Walikota Cimahi, Ajay M Priatna, dianggap keliru. Pihak kuasa hukum terdakwa (Ajay), menilai ada ketidakcermatan jaksa dalam memberikan dakwaan.
Fadli Nasution, Koordinator kuasa hukum terdakwa Ajay mengatakan, ketidakcermatan itu terletak pada dalil dalam dakwaan penyelidikan KPK terkait dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Covid-19 di Kabupaten Bandung Barat pada Mei 2020.
“Perkara itu tidak ada kaitannya dengan Ajay selaku Walikota Cimahi. KPK tidak pernah melakukan penyelidikan perkara Bansos Covid-19 di Kota Cimahi tahun 2020,” ungkap Fadli.
Terdakwa Ajay M Priatna menolak seluruh dakwaan jaksa. Terdakwa menilai, penanganan perkara justru ditujukan semata untuk memulihkan citra KPK yang terpuruk akibat adanya penyidik yang melakukan pemerasan sejumlah kepala daerah.
Menurut Fadli, ketidaklengkapan didasari oleh berkas perkara yang dijadikan sebagai dasar oleh penuntut umum dalam menyusun dakwaan.
“Pada dakwaan penuntut umum tidak menyertakan barang bukti uang sebasar Rp 507.390.000,” katanya.
Menurutnya, uang itu dijadikan jaksa sebagai alat bukti tuduhan suap yang diberikan Ajay kepada penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju. Sesungguhnya, diketahui bersama bahwa, barang bukti uang tersebut melekat dalam putusan perkara Stepanus Robin Pattuju yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Uang itu dijadikan sebagai uang pengganti untuk dirampas negara. Oleh karenanya tidak ada alat bukti uang dalam perkara klien kami ini.” jelasnya.
Kata dia, tuduhan suap yang dilakukan Ajay terhadap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju, itu kurang tepat lantaran, yang terjadi sebenarnya adalah, Ajay diperas dengan cara ditakut-takuti bakal ada penyelidikan KPK terkait dugaan korupsi Bansos Covid-19 di wilayah Bandung Raya, termasuk Kota Cimahi.
“Penyelidikan KPK hanya dilaksanakan di Kabupaten Bandung Barat. Seharusnya yang diterapkan adalah Pasal 12 huruf e yaitu pemerasan dalam jabatan, dimana Ajay sebagai korban, bukan pemberi suap,” tandasnya.
Fadli menambahkan, perkara ini sudah pernah diperiksa dan diadili. Perkara sama yang dimaksud adalah perkara suap perizinan Rumah Sakit (RS) Kasih Bunda tahun 2020 dengan terdakwa Ajay. Lalu perkara Stepanus Robin Pattuju bersama-sama dengan Maskur Husain tahun 2021 yang menerima suap dari Syahrial Mantan Walikota Tanjung Balai dan Azis Syamsudin, mantan Wakil Ketua DPR RI yang semuanya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dalam uraian eksepsinya, Fadli menyesalkan penangkapan yang dilakukan oleh Penyidik KPK terhadap kliennya. Penangkapan dilakukan pada hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2022.
Pihaknya pun mempertanyakan, mengapa harus dilakukan penangkapan, dijemput dengan tiga mobil KPK persis di depan pintu Lapas Sukamiskin, seakan-akan Klien kami pencuri uang negara.
“Padahal, justru penyidik KPK yang melakukan pemerasan. Apa urgensinya harus ditangkap? Patut diduga Klien kami telah dizalimi, seharusnya KPK sebagai lembaga penegak hukum menjadikan hukum sebagai panglima, bukan malah sebagai alat politik kekuasaan,” katanya.
Sementara itu, alasan utama mengajukan eksepsi, lanjut Fadli, lantaran keberatan beragam yang dirasakan oleh terdakwa Ajay. Perkara ini diusut bukan untuk mencari keadilan semata melainkan untuk, memulihkan citra KPK yang kian terpuruk. Terlebih sambung Fadli, belakangan terungkap ada oknum penyidik KPK yang memeras sejumlah kepala daerah.
“Bagian ini menurut kami penting, karena sejatinya tidak ada suap dalam perkara klien kami. Yang ada adalah penipuan atau pemerasan dalam jabatan.” tegasnya.