RADARBANDUNG.ID – Di tengah-tengah permasalahan pengangkutan sampah di Kota Bandung, masih ada solusi yang ditawarkan Pemkot Bandung melalui Program KangPisman.
“Sekarang sudah ada sekitar 200 RW dari 1.600 an RW di Kota Bandung yang sudah dengan rutin menjalankan program KangPisman, hasilnya ketika sekarang sebagian besar warga Kota Bandung dilanda kebingungan karena sampah yang menumpuk, mereka bisa lebih tenang, karena masalah sampah sudah bisa diselesaikan,” ujar Relawan Pengelolaan Persampahan Limbah B3 (PPLB3) M. Riyanto, kepada wartawan Rabu (03/05/2023).
Riyanto mengatakan, kesadaran warga Kota Bandung akan pentingnya memilah dan mengelola sampah sekarang ini memang semakin meningkat.
Meskipun memang diakui Riyanto, butuh waktu yang lama dan proses yang panjang untuk menimbulkan kepedulian warga akan pentingnya pengnelolaan dan pemilaha sampah.
“Minimal, arga mau memilah sampah organik dan an organik. Sehingga dalam pengelolaannya bisa lebih mudah,” tambah Riyanto.
Jika warga sudah memiliki kesadaran akan pentingnya memilah sampah, maka dalam pengelolaan lebih mudah. Untuk sampah anorganik bisa dijual dan diolah kembali menjadi barang yang berguna dan mendatangan nilai ekonomi.
“Untuk sampah organik bisa diolah sehingga menjadi barang yang lebih bermanfaat, seperti kompos. Meskipun mungkin tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun bisa memberikan manfaat yang tidak sedikit juga. Karena hasil olahan sampah organik bisa juga digunakan untuk kebutuhan pertanian dan peternakan,” papar Riyanto.
Dengan program KangPisman yang sudah berjalan, menurut Riyanto bisa mengurangi sampah organik sekitar 100 ton per RW per minggu. Hal ini tentu sangat membantu dikala sampah di tengah masyarakat tengah menumpuk.
Padahal, lanjutnya, percepatan perkembangan bank smapah di lingkungan masyarakat relatif lebih sedikit dibandingkan di lingkungan sekolah. Pasalnya, Riyanto menambahkan, untuk lingkungan sekolah terutama yang mengikuti program sekolah Adiwiyata, membutuhkan aksi nyata dalam kepedulian lingkungan. “Sehingga, mereka harus mendirikan bank sampah di sekolah mereka, dan mendidik agar siswa memiliki wawasan lingkungan. Hal ini sebagai nilai tambah bagi sekolah yang mengikuti program Adiwiyata,” tuturnya.
Hal ini berbeda dengan lingkungan warga biasa, yang tidak punya kepentingan apa-apa terhadap program pemilahan sampah lewat KengPisman. “Makanya, lebih sulit menerapkan KangPisman kepada warga dibandingkan kepada anak sekolah,” tambahnya.
Senada dengan Direktur Bank Sampah Induk Elis Solihat yang mengatakan, untuk mengaktifkan bank sampah dan mensosialisasikan program KangPisman kepada masyarakat, sangat bergantung keaktifan staf kelurahan, kecamatan dan RW.
“Ya kalau di tingkat kecamatan, kelurahan dan RW nya punya kesadaran, dan mau bergerak, maka warga otomatis akan mudah untuk bergerak. Kalau tidak, akan sulit mengajak warga untuk bergerak,” tambahnya.
Pasalnya, untuk kawasan bebas sampah memang tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang warga, setidaknya harus menjadi kebiasaan satu RW. “Kami kan bisa mengangkut sampah organik yang dihasilkan oleh warga dalam satu RW. Kalau hanya satu rumah, kan tanggung petugasnya harus bulak balik mengambil ke rumah
warga. Makanya harus setidaknya satu RW yang berpartisipasi dalam program ini,” bebernya. (Mur)