PETANI masih lekat dengan paradigma kemiskinan hingga membuat regenerasinya terhambat. Ketidakpastian pendapatan menjadi satu dari sekian banyak alasan anak muda enggan bergelut di bidang ini. Meski begitu, pelaku industri pertanian mesti berjuang dan juga diperjuangkan, mengingat potensinya sangat besar dan keberadaannya penting bagi perekonomian secara nasional.
Oleh: Bahi Binyatillah B/Radar Bandung
Menguapnya embun di daun rerumputan menjadi penanda tuntasnya rutinitas Amri Rachman Dzulfikri menyemai benih Selada ke dalam rockwool berukuran 2,5 sentimeter x 2,5 sentimeter. Di waktu sepagi itu, Amri telah menyemai sekira dua ribu benih. Dimana satu benih ia tanam dalam satu rockwool.
Ribuan rockwool yang ia kelola berada di satu area greenhouse di Kampung Cikopo, Desa Babakan Peuteuy, Kabupaten Bandung. Metoda tanam yang dipilih adalah menanam dengan teknik hidroponik. Penyemaian selesai, sulung dari empat bersaudara itu melanjutkan aktivitasnya dengan memeriksa jalur air.
Satu per satu pipa diawasinya. Hasilnya baik, tidak ada yang tersendat. Langkah Amri selanjutnya adalah memeriksa kadar nutrisi tanaman menggunakan alat TDS Meter dan Ph Meter. Seluruh rangkaian pemeriksaan tersebut menjadi bagian penting agar Selada yang ditanam tumbuh dengan baik, dan bisa panen tepat waktu.
Selaku Ketua Kelompok Tani Muda Merdeka, Amri masih memiliki tugas lainnya. Memeriksa greenhouse mitra yang dikelola warga sekitar. Lokasinya memang tidak terlalu jauh, tapi raut wajah tidak bisa menyembunyikan kelelahan yang ia rasakan saat itu.
Ia pun memilih beristirahat sejenak, menyeruput sisa kopi yang diseduhnya tadi subuh, waktu dimana Amri memulai aktivitasnya. Sesekali ia hisap rokok kretek yang dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah di tangan kirinya. Setiap hembusan asap membawanya ke memori pertaruhan lima tahun lalu. Saat ia memutuskan meninggalkan profesi sebagai jurnalis foto, untuk bertani.
Ya, lima tahun lalu ia masih menjadi jurnalis foto di sebuah perusahaan media lokal di Kota Bandung. Pekerjaan yang ia geluti kurang lebih tiga tahun. Ia sebenarnya sangat mencintai pekerjaannya. Bahkan pernah berambisi meningkatkan karirnya dan menembus Ibu Kota. Mendapat pengalaman dan pendapatan yang lebih baik, untuk kemudian menikah sekaligus membantu membiayai adik-adiknya sekolah.
“Periode November tahun 2017 kalau gak salah saya memutuskan keluar dan melamar-lamar ke perusahaan lain,” ucap dia saat ditemui akhir Oktober lalu 2023.

MENGENDARAI : Amri Rahman mengendarai motor menuju kabin dan lahan garapan di Kampung Cikopo, Desa Babakan Peuteuy, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Bahi Binyatillah B/Radar Bandung)
Tertarik Karena Tak Sengaja
Di periode itu, sambil menunggu panggilan, ia iseng memotret kawan-kawan di kampungnya yang tengah membuka lahan pertanian. Teman-temannya saat itu terlibat dalam program Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita) yang diinisiasi Kementerian Pertanian (Kementan).
Tujuannya saat itu ingin tetap mengasah kemampuan fotografi sekaligus menghabiskan waktu dengan kawan lama. Apa yang dia lihat sebetulnya bukan hal yang baru. Saat masih bekerja, ia beberapa kali memotret hal yang berhubungan dengan industri pertanian. Kadang mengisahkan petani sukses. Namun tak jarang pula narasumbernya adalah petani yang masih terjebak di jurang kemiskinan.
Dalam program Gempita, kawan-kawannya memilih komoditas jagung. Tanpa disadari, dari semula iseng sambil menunggu panggilan kerja, Amri turut terlibat di hampir semua tahapan penanaman yang menghabiskan waktu selama tiga bulan.
Pada akhirnya, jagung yang dinanti gagal panen. Meski begitu, selama proses membersamai kawan-kawannya, Amri menemukan ketenangan, kenyamanan, dan semangat pemberdayaan.
“Proyek itu gagal karena lahannya dirusak hama monyet, babi hutan, sebulan sebelum panen,” kata dia sambil tertawa.
Gagal Berkali-kali, Merantau ke Sulawesi Hingga Dihadapkan Pandemi
Amri saat itu mulai tertarik karena melihat potensi dari industri pertanian sangat besar. Tak hanya dari sisi cuan, namun juga pemberdayaan. Tapi, ia juga sadar tantangannya terjal.
Di pertengahan 2018, panggilan kerja yang ia tunggu tak kunjung datang. Amri pun mencoba peruntungan di dunia pertanian bersama temannya, Ipan dan Dadan. Tanpa pengetahuan yang cukup, ia nekat menggunakan sebagian tabungannya untuk menyewa lahan seluas 1.400 meter persegi di dekat rumah. Hasilnya, gagal total.
“Waktu itu menanam kubis. Masa persiapan satu bulan, tiga bulan budidaya. Tapi gagal gara-gara hama dan penyakit. Karena waktu itu tak ada pestisida,” ucap pria kelahiran 1990 itu.
Kegagalan yang dialami tak membuatnya patah semangat. Sepanjang tahun itu ia berjejaring dengan petani lain atau pelaku industri di bidang yang sama. Tujuannya, menambah pengetahuan dan peluang. Cara lainnya ditempuh dengan menggali informasi melalui media sosial.
Pada akhir 2018, jejaring yang dibangun bermuara pada tawaran menggarap lahan seluas 1 hektare di Desa Sindangwangi, Kabupaten Bandung. Semua modal dan lahan sudah disiapkan oleh kenalannya yang berpengalaman di bidang jual beli sayuran. Saat itu, impian bekerja sebagai fotografer sudah dikubur dalam-dalam. Bahkan saat mendapatkan panggilan kerja, ia menolaknya dengan penuh keyakinan.
Singkat cerita, Amri bersama Ipan dan Dadan menggarap lahan menggunakan sistem tumpang sari. Kali ini, semua prosesnya ditunjang oleh pengalaman dan keilmuan yang bertambah. Mereka menanam kubis seluas 5.000 meter persegi. Sisanya untuk brokoli, tomat, cabai rawit, dan sawi.
Selama enam bulan menggarap lahan, ia tak lagi mengalami kegagalan. Semua komoditas berhasil dipanen. Kubis sekitar 6 ton, komoditas lain 3 ton. Apakah itu menjadi titik awal kebangitan? Tidak juga. Kali ini, laju mereka terhambat akibat harga komoditi yang mereka tanam itu anjlok di pasaran.
“Harga jual saat itu untuk kubis Rp 500 per kilogram, tomat di kisaran Rp 1.500 per kilogram. Padahal, proyeksi waktu awal menanam bisa menjual tomat Rp6.000 dan kubis Rp3.000 per kilogram. Cabai yang masa panennya menyusul terimbas, karena modalnya tak cukup. Harga jualnya jelek. Kerjasamanya akhirnya berhenti, sama Ipan dan Dadan juga berhenti,” kenang dia.
Meski tak berakhir manis, komitmen Amri menjadi petani makin menguat karena sudah berhasil melakukan budidaya. Ia bersemangat meskipun belum menghasilkan keuntungan yang ideal.
September 2019, Amri memutuskan mencoba menanam bawang merah dengan modal Rp6 juta. Dia memanfaatkan lahan milik saudara seluas 500 meter persegi. Proyeksinya, bisa mendapatkan keuntungan di musim panen kedua dan ketiga pada Maret 2020.
Namun, saat musim panen pertama tiba, sekira Desember 2019, ia mendapat tawaran meggarap lahan di Gowa, Sulawesi Selatan. Tanpa pikir panjang, ia terima karena menjadi kesempatan untuk menambah jam terbang. Ia dijanjikan gaji Rp5 juta per bulan.
Di medio Januari 2020, selama tinggal di Gowa, Sulawesi Selatan, tepatnya di Pattallassang, Amri makin menikmati kehidupannya sebagai petani. Semangatnya menggelora untuk tandang ke ladang seluas 50.000 meter.
Waktu berlalu, benih bawang merah perlahan mulai tumbuh. Hal itu mengobati kerinduan mendalam pada keluarga di kampung halaman. Optimisme membuncah. Ia semakin yakin dengan langkah yang diambil untuk menjadi petani. Tujuan mendulang rupiah sepertinya makin menjadi nyata.
Namun kenyataannya, jerih payah Amri tidak sesuai dengan ekspektasi. Ladang garapannya gagal panen. Sebabnya adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang. Luasan sebesar itu minimal dikerjakan oleh 20 orang. Tapi nyatanya warga lokal tak banyak bertahan. Total lahan tersebut hanya digarap lima orang.
Mentalnya runtuh, hingga akhirnya ia memutuskan pulang sebentar sebelum musim tanam kedua. Rencananya kembali lagi ke Gowa urung terlaksana karena pandemi Covid-19 melanda. Pemerintah memperketat rute perjalanan. Mau tak mau, ia harus tinggal di Bandung dalam kondisi tanpa pekerjaan.
Amri merasa terpuruk, pikirannya kalut. Harapannya seolah pupus layaknya kayu kering yang dilalap api. Atau mungkin serupa tanaman yang layu di tengah kemarau panjang. Uang yang ia bawa pulang dari hasil merantau ke seberang pulau pun hanya cukup menyambung hidup hingga diperkirakan habis dua bulan ke depan.
“Kalau ngomongin mental, ya hancur. Tapi, ada keluarga, terutama Umi (ibu) yang menguatkan,” ujarnya.

PANEN : Amri Rahman memanen selada di lahan hidroponik di Kampung Cikopo, Desa Babakan Peuteuy, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Bahi Binyatillah B/Radar Bandung)
Mulai Bangkit
Tak ingin berlarut-larut dalam keterpurukan, Amri mencoba memanfaatkan lahan kecil seluas 500 meter persegi yang ada di belakang rumahnya. Pada percobaan kali ini, Amri memilih menanam selada dengan sistem hidroponik. Alasannya karena panennya cepat dan perawatannya dirasa tidak terlalu rumit.
Benih selada ia beli dalam jumlah yang tak banyak karena keterbatasan modal yang dimiliki. Namun, kali ini Amri cukup yakin akan berhasil. Ia semakin mencintai profesi petani dan ingin lebih paham mengenai perkembangan industrinya.
“Ambisinya masih tetap besar, tapi pas mulai yang hidroponik ini lebih mengatur ekspektasi. Pokoknya, yang saya ingat, saya mulai suka dengan pertanian. Bikin hidroponik hasil ngulik. Meskipun saat itu kalau panen gak tahu mau dijual kemana, yang penting jalan aja dulu,” kenang Amri.
Mengatur ekspektasi rupanya membuat setiap langkahnya terasa ringan. Keseriusan juga ia tunjukan dengan rutin menghadiri pertemuan bersama orang-orang yang berkecimpung di industri pertanian. Hingga suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang yang mempunyai toko sayur yang siap menampung hasil panen.
Meski lahan yang dikelola luasnya tidak seberapa, nyatanya dalam sebulan Amri mampu mengirim hasil panen selada kurang lebih 1.500 ikat. Omset yang ia bukukan sekitar Rp 7.000.000 per bulan. Angka yang terbilang tidak besar jika dipotong untuk biaya produksi, tetapi sangat bermakna dan membangkitkan semangat melanjutkan langkah menuju tahap selanjutnya.
“Dan ternyata suplai selada masih kurang. Saya kirim barang, produksinya memang masih belum banyak. Nah, mulai lah saya kerja sama dengan beberapa pengelola kebun hidroponik lain, untuk memenuhi suplai yang kurang,” ucapnya.
Mencium potensi tersebut membuat Amri makin semangat untuk memperluas lahan garapannya. Kali ini, misi pribadi selain mendapat cuan kembali bangkit. Yakni, memberdayakan teman yang belum memiliki kerja atau yang masih serabutan.

KABIN : Suasana kabin di lahan garapan Amri dkk di Kampung Cikopo, Desa Babakan Peuteuy, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Bahi Binyatillah B/Radar Bandung)
Modal dari Perbankan dan Proyeksi Pendapatan
Lagi-lagi masalah klasik mengadang, modal. Masalah ini harus dipecahkan. Semangat yang menggelora memaksanya mencari solusi. Lahan yang bisa digarap sebenarnya sudah ada di sekitar desa. Bak gayung bersambut, di tengah usahanya itu tanpa sengaja ia dipertemukan dengan teman-teman yang memiliki kesamaan visi terkait pemberdayaan pemuda setempat. Proyeksi bisnisnya pun mulai dibahas dan dirancang.
Singkat cerita, mereka sepakat bekerja sama membuat tim hingga memberanikan diri mengajukan pinjaman modal ke perbankan. Semua prosedur ditempuh, skema bisnis dari hulu hingga hilir disiapkan. Pengajuan akhirnya disetujui dengan mengorbankan kendaraan milik temannya menjadi jaminan. Mereka mendapatkan bantuan permodalan Rp100 juta.
Rencana yang telah disusun pun mulai dijalankan satu per satu. Mereka saat ini menggarap lahan seluas dua hektare. Tanamannya bertambah dan variatif bukan hanya sekadar selada, Amri dan teman-teman menanam sawi, jamur tiram, daun bawang, bawang merah, mentimun, dan sebagainya. Metode tanam yang akan dijalankan pun tidak lagi terbatas pada sistem tanam hidroponik. Sistem tanam konvensional juga akan diterapkan pada komoditas tertentu di lahan garapan yang masih satu desa dengan kediaman Amri.
Dalam menjalankan bisnisnya, Amri dibantu rekannya, Irpan (36), Adi (39), Eman (38), dan Ilyas (29). Komitmennya semakin kuat. Kabin yang dibangun di sekitar lahan garapan seolah menjadi simbol keseriusan mereka. Artinya mereka akan lebih banyak tinggal di area lahan garapan.
Jika semua lancar, potensi pendapatan yang bisa dihasilkan mencapai Rp30 juta per bulan. Sederhananya, semua hasil pertanian akan dikirimkan ke toko sayur kelontongan yang tersebar di Bandung Timur melalui jaringan Eman. Desember 2023 bisa menjadi musim panen pertama bagi Amri dan kawan-kawan. Ia bersemangat. Kadang, ia merasa tak percaya apa yang sudah dilakoni dan diperjuangkannya selama lima tahun terakhir mulai membuahkan hasil.
“Sekarang kami baru akan memulai. Lahannya sudah siap digarap. Tapi kami sadar bahwa perjalanan masih jauh. Tantangannya pun makin besar, begitu juga dengan tanggung jawabnya, apalagi sudah mendapat modal perbankan,” kata dia.
“Doakan saja. Banyak yang bilang ‘ngapain jadi petani?’ ya itu jadi semacam motivasi tambahan lah buat kami. Kami juga ingin membuktikan bahwa profesi petani layak diperjuangkan,” tegas dia.
Upaya Meluruhkan Stigma Kemiskinan
Amri merupakan satu dari sekian banyak anak muda yang percaya bahwa industri pertanian layak diperjuangkan. Naik turun perjalanan selama lima tahun sebagai petani tetap dijalankan meski dihadapkan banyak rintangan dan keterbatasan. Namun, tak sedikit pula anak muda yang memilih menyerah di tengah jalan karena berbagai faktor, atau bahkan enggan mencoba.
Guru Besar Fakultas Pertanian UNPAD, Prof. Tualar Simarmata mengatakan, saat ini pertanian paradigmanya masih identik dengan kemiskinan. Upah atau penghasilan para petani jauh lebih rendah dibanding industri lain. Itu tak lain karena sebagian petani yang ada saat ini, masuk kategori skala kecil.
“Petani kita 70 persen adalah petani kecil,” kata Tualar.
Di sisi lain, petani itu adalah orang-orang pilihan. Bahkan ia mengibaratkannya sebagai manusia setengah dewa. Bagaimana tidak, seorang petani harus memiliki pengetahuan luar biasa. Sebelum menanam harus bisa memilih komoditas yang bagus, memperkirakan harga saat panen, harus bisa menyembuhkan tanaman jika terserang hama, hingga memprediksi cuaca.
“Bisa dibayangkan, belum menanam, tapi harus bisa membuat proyeksi saat panen dijual kemana harga berapa. Petani harus mampu mengantisipasi dan memprediksi risiko. Perlu pengalaman dan menguasai semua hal sampai peningkatan nilai tambah,” ucap dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor pertanian mengalami pertumbuhan, bahkan menjadi bantalan di angka 1,75 persen ketika perekonomian Indonesia terkontraksi 2,07 persen pada tahun 2020. Kontribusi ekspor pertanian terhadap total ekspor juga naik dari 2,15 persen menjadi 2,52 persen di tahun yang sama. Sektor pertanian juga menjadi opsi bagi tenaga kerja yang sebelumnya bergelut di sektor lain yang tumbang di masa pandemi Covid-19.
Secara total, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat dari 12,7 persen pada 2019 menjadi 13,7 persen di tahun selanjutnya. Hanya saja, di balik catatan impresif itu ada beberapa tantangan yang kerap dihadapi. Di antaranya mayoritas tenaga kerja pertanian berusia 45 tahun atau lebih.
Tantangan lainnya adalah harga jual kerap terganggu ketika memasuki musim panen. Artinya, seringkali harga produk yang dihasilkan tidak menutup biaya produksi. Situasi itu diperparah dengan nilai tukar petani (NTP) yang masih relatif rendah.
Data BPS pada Agustus 2020, rata-rata upah buruh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya Rp1,91 juta per bulan. Sedangkan upah buruh nasional berada di angka Rp2,76 juta. 46,3 persen rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian yang terpusat di daerah pedesaan.
Meski demikian, Tualar meyakini, jumlah usia produktif yang terjun ke dunia pertanian bisa meningkat. Apalagi, saat ini program perbankan sudah mulai bisa diakses para petani. Meski demikian, skema yang ada menurutnya perlu terus dievaluasi agar lebih maksimal. Terutama agar bisa mengakomodir petani kecil yang berada di pedalaman.
“Dari sisi permodalan, sudah bayak produk (perbankan) diluncurkan, tapi ga bisa semua mengakses. Saya pernah mendampingi kelompok tani, dari 100 yang mengajukan, tidak sampai 10 yang diterima untuk mendapatkan permodalan, karena memang ada aturan dan kriteria yang harus dipenuhi kan,” jelas dia.
Ia pun mendorong pemerintah bisa membuat sistem subsidi yang langsung dirasakan petani. Ia menyarankan dibuat semacam kartu tani atau voucher untuk mendapatkan pupuk, benih, dan lain hal yang dibutuhkan petani. Kemudian, dari sisi infrastruktur pun perlu banyak pembenahan. Di antaranya akses jalan atau irigasi.
Tualar Simarmata pun mengapresiasi adanya program Petani Milenial yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, program tersebut bisa menjadi stimulus untuk anak muda agar lebih tertarik masuk ke industri pertanian. Memang, kata dia, ada beberapa hal yang perlu dievaluasi. Tetapi dari sisi maksud sebenarnya program tersebut sudah sangat baik.
“Membuat anak muda tertarik menjadi petani. Itu gak bisa dikerjakan hanya satu musim tanam atau dua tiga tahun. Jangan dulu di-judge, harus ditumbuhkan rasa cinta ke pertanian dari generasi muda,” terang dia.
Upaya lain yang menurutnya perlu dilakukan adalah memodernisasi sektor pertanian, agar anak muda lebih tertarik menjadi petani. Inovasi harus terus ada. Adaptasi teknologi juga perlu terus didorong. Mengingat kaum muda saat ini sangat akrab dengan teknologi.
“Jika ini berjalan baik, maka dengan sendirinya paradigma petani yang lekat dengan kemiskinan akan terhapus, berubah. Bahwa petani itu sesuatu yang layak diperjuangkan, potensinya besar dan keren di mata anak muda,” kata dia.
Gairah Anak Muda Meningkat
Bukan rahasia jika kondisi geografis Jawa Barat membuat pertanian memiliki potensi besar. Banyak penelitian dan literatur yang membahasnya. Potensi tersebut berlaku di banyak sektor, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, maupun perikanan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun mencoba memaksimalkan potensi tersebut melalui program Petani Milenial.
Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023, Ridwan Kamil mengatakan, program Petani Milenial pun bertujuan meregenerasi petani, sekaligus memaksimalkan industri dengan pendekatan teknologi dan meningkatkan perekonomian di desa.
Ditinjau dari data, jumlah anak muda yang mendaftar program tersebut terus meningkat. Pada 2022, ada sebanyak 20.894 orang yang mendaftar dan yang lolos seleksi sebanyak 6.545 petani. Jauh dibanding catatan tahun sebelumnya, dimana hanya terdapat 8.998 pendaftar, dan yang lolos seleksi hanya 1.766 orang.
“Maka, semangat tinggal di desa, rezeki kota, bisnis mendunia, bukan suatu hal yang mustahil. Program Petani Milenial merupakan program yang masih panjang perjalanannya,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil sebelum lengser dari jabatannya.

WISUDA : 4.095 petani milenial Jawa Barat angkatan tahun 2022 diwisuda di Graha Sanusi Kampus Universitas Padjajaran, Kota Bandung, Selasa (30/5/2023). (Foto: Ist/ Biro ADPIM Pemprov Jabar)
Ia menjelaskan, seluruh peserta Petani Milenial mendapatkan pelatihan dan pendampingan metode pertanian yang lebih efektif dan efesien, proses hilirisasi, pengembangan produk, hingga pemasaran hasil tani dengan memanfaatkan teknologi. Ada pula program petani magang ke luar negeri. Semua itu dimaksudkan agar lebih banyak generasi muda Jabar yang tertarik terjun ke sektor pertanian.
Dukungan BI dan Upaya Menjaga Inflasi
Dukungan di sektor pertanian pun dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dengan sejumlah program yang dibuat. Di antaranya dengan pola pembinaan untuk mengembangkan usaha kelompok masyarakat.
Tujuannya agar tugas pengendalian inflasi, pengembangan ekonomi dan UMKM, termasuk pengembangan ekonomi pesantren dan perluasan digitalisasi ekosistem ekonomi bisa berjalan baik. Mereka sudah memiliki banyak kelompok binaan dari berbagai sektor.
Tak hanya itu, BI pun memastikan dukungan terhadap program pemerintah yang memiliki keselarasan dalam tugas pokoknya. Itu pula yang mendasari mereka mendukung Petani Milenial.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Erwin Gunawan Hutapea dalam beberapa kesempatan saat bertemu wartawan maupun melalui siaran persnya menyebut bahwa peran petani sangat penting dalam mendorong tingkat produktivitas hasil pertanian komoditas pangan strategis. Seperti beras, aneka cabai, bawang, hortikultura, perkebunan dan perikanan menurutnya akan turut berdampak pada tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat lokal.
“Petani merupakan salah satu ujung tombak pengendalian inflasi di Jawa Barat,” kata Erwin.
Maka dari itu, ia mengaku berkomitmen terus mendorong program-program yang bisa meningkatkan minat masyarakat, utamanya kaum muda, untuk bergelut di sektor pertanian karena memberikan dampak postif pada ketersediaan pangan, utamanya dalam hal pemenuhan kebutuhan domestik.
“Para petani milenial yang memiliki karakter lebih adaptif bisa mengimplementasikan digitalisasi. Sehingga berdampak pada akselerasi produktivitas pertanian. Pada akhirnya, berbagai terobosan tersebut berkontribusi pada capaian pasokan pangan yang tercukupi, dengan tingkat inflasi yang terjaga serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,” pungkasnya.
Mengenai inflasi, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin pun menyinggungnya saat rapat pimpinan pada awal November lalu. Ia meminta kepala perangkat daerah untuk menjaga daya beli masyarakat.
“Kemudian juga inflasi dari harga beras, daya beli masyarakat harus dijaga. Inflasi naik 2,8 persen ada beberapa komoditas memang naik karena perubahan iklim seperti cabai. Jadi inflasi tahun ini year to date Januari sampai akhir tahun ini 1,73 persen. Kita tetap optimistis, insyaallah di sekitar 3 persen bisa dijaga,” ungkapnya. (bbb)