RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto diperiksa KPK kemarin.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (10/6). Foto-foto: Muhammad Ridwan/Jawa Pos
Hasto dipanggil sebagai saksi atas buronan KPK Harun Masiku.
Yang menjadi tersangka kasus suap pergantian antar waktu (PAW) DPR RI 2019-2024.
Hasto keberatan penyidik KPK sita gawai dan tas miliknya.
Datang pukul 09.42, Hasto diperiksa penyidik pukul 10.00 WIB.
Petinggi PDI Perjuangan itu baru keluar dari gedung Merah Putih pada 14.25 WIB.
Diperiksa selama empat jam, Hasto hanya ditanyai oleh penyidik selama 1,5 jam. Sisanya dia ditinggal sendirian di ruang penyidikan.
“Di ruangan yang sangat dingin itu,” katanya dalam konferensi pers sore kemarin.
Usai diperiksa, Hasto mengungkapkan kekecewaannya terkait penyitaan gawai dan tas miliknya.
Saat itu, stafnya Kusnadi diminta untuk masuk ke gedung Merah Putih oleh penyidik KPK.
Baca Juga : Jokowi Tetapkan 10 Juni Sebagai Hari Kewirausahaan Nasional
“Katanya untuk bertemu dengan saya. Namun, tas dan gawai atas nama saya disita,” keluhnya.
Penyitaan itu membuat Hasto sempat berdebat dengan penyidik KPK. Lantaran upaya itu menurutnya tanpa didasari prosedur hukum acara pidana. Penyidik dia anggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hasto juga menyesali sikap penyidik yang tak mengizinkannya membawa kuasa hukum saat diperiksa. “Sepengatahuan saya sebagai saksi di dalam KUHAP saya berhak untuk didampingi penasihat hukum. Kemudian akhirnya saya memutuskan pemeriksaan nantinya dilanjutkan pada kesempatan lain,” jelas Hasto.
Kuasa hukum Hasto, Patra Zen mengatakan penyitaan ponsel yang dilakukan penyidik seharusnya tunduk pada prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Menurutnya, jika penyidik meminta gawai tersebut seharusnya bisa kepada yang bersangkutan secara langsung. Dengan catatan, bahwa proses penegakannya harus tetap sesuai prosedur.
Patra menjelaskan Hasto datang dengan sukarela memenuhi panggilan KPK. Namun, Patra menyayangkan sikap penyidik KPK yang bertindak tanpa menjunjung tinggi etika dan hukum. “Pak Hasto datang secara kooperatif, datang sebagai warga negara yang patuh, datang sebagai Sekjen PDI Perjuangan yang menghormati prosesnya, tapi dibeginikan. Apalagi orang biasa, apalagi orang yang mungkin tidak punya jabatan,” ungkapnya.
Di konfirmasi terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku belum mengetahui perihal penyitaan itu.” Saya belum mendapat informasi dari staf. Apakah disita sebagai barang bukti atau sekadar dilarang membawa gawai dan tas di ruang pemeriksaan,” terangnya.
Sementara itu, dari informasi yang dihimpun Jawa Pos, Harun Masiku diduga sempat berada di Makassar, Sulawesi Selatan pada 2021 lalu. Berpijak pada informasi itu, Jawa Pos sempat menelusuri jejak Harun di Makassar pada pertengahan Juni 2021 lalu. Dari penelusuran selama dua hari, Jawa Pos menemukan rumah tinggal keluarga istri Harun, Hildawati.
Sebelum penelusuran itu dilakukan, Hildawati sebenarnya dikabarkan telah menggugat cerai Harun di Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Juli 2020. Dari keterangan kuasa hukum Hildawati, gugatan cerai itu telah dikabulkan PN Makassar pada 16 Maret 2021 dengan Nomor: 238/Pdt.G/2020/PN Mks.
Namun, meski telah bercerai, Harun diduga sempat berkomunikasi dengan Hilda. Informasi dari petugas KPK pada saat itu menyebutkan bahwa Hilda beberapa kali terdeteksi menerima panggilan telepon dari nomor misterius. Ketika dicek oleh petugas, nomor itu sempat terdeteksi berlokasi di Papua.
Berdasar informasi itulah, Jawa Pos menelusuri jejak Harun dengan mendatangi rumah mantan istrinya, Hildawati. Awalnya, Hildawati tinggal di Perumahan Bajeng Permai Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulsel. Namun rumah itu tak lagi dihuni sejak masuknya Harun dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK.
Karena rumah itu kosong, Jawa Pos lantas menelusuri jejak istri Harun ke Kecamatan Manggala, Kota Makassar. Informasinya, Hilda pindah rumah ke daerah itu. Penelusuran tersebut sempat menemui kendala lantaran tak banyak informasi mengenai alamat tinggal Hilda di Manggala. Hingga akhirnya, Jawa Pos mendapat informasi nama orang tua Hilda, yakni Jamrin dan Marniati.
Dari situlah, Jawa Pos mendatangi rumah di Jalan Inspeksi PAM Lorong 4, RT/RW 1, Batua, Manggala, Kota Makassar. Informasi dari pengurus RT setempat, rumah dengan pagar warna cokelat muda itu memang dihuni anak Marniati. Namun, warga tersebut tidak mengetahui apakah Hilda juga kerap tinggal di rumah tersebut.
Jawa Pos lantas mendatangi rumah tersebut dan bertemu dengan S, kakak ipar Hilda. Hanya, S enggan berkomentar banyak mengenai Hilda. Dia hanya menyampaikan bahwa suaminya atau kakak Hilda berpesan agar tidak memikirkan persoalan Harun Masiku. ”Gak pernah dengar Harun Masiku, suami (saya) minta untuk tidak memikirkan tentang Harun,” ujarnya lantas masuk ke dalam rumah.
Jawa Pos lantas menelusuri lebih jauh tentang keluarga Hilda ke beberapa warga yang tinggal di sekitar rumah tersebut. Informasi yang diperoleh Jawa Pos, Hilda diketahui beberapa kali keluar dari rumah itu pada malam hari. ”Saya lihat sering dijemput orang pakai motor,” kata seorang warga yang tinggal tidak jauh dari rumah tersebut.
Sayangnya, saat Jawa Pos mencoba mengonfirmasi hal tersebut, keluarga Hilda yang tinggal di rumah itu belum mau membuka diri. Mereka langsung menutup diri. (elo/lum/tyo/jawa pos)