RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – Pemerintah menargetkan pada tahun ini penurunan stunting (tengkes) hingga menyentuh prevalensi 14 persen.
Presiden Joko Widodo menyadari target ini terlalu ambisius.
Betul saja, penurunan prevalensi stunting 2023 hanya 0,1 jika dibanding tahun sebelumnya.
Kemarin Jokowi dan rombongan berkunjung ke posyandu yang berada di Kota Bogor dan Jakarta Selatan.
Posyandu di seluruh tanah air memang sedang melaksanakan program Gerakan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting.
“Ya yang namanya target kan kita kan memiliki target yang sangat ambisius dari 37 (persen) melompat ke 14 (persen),” kata Jokowi setelah kunjungannya di Poyandu Integrasi RW 02 Cipete Utara, Jakarta Selatan.
Baca Juga : Lapor Dewas, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto Gugat ke Praperadilan Usai Penyitaan
Target pemerintah ini telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Bapenas sebelumnya sudah membeberkan jika tengkes dan sembilan program lainnya tidak akan berhasil dicapai.
“Tapi memang kita harus bekerja keras mencapai target. Nanti akhir tahun kita lihat berapa,” imbuhnya.
Baca Juga : Layanan Visa Ditutup, Kuota Haji Tersisa 45 Kursi
Jokowi menyebutkan jika intervensi tengkes tidak bisa hanya dari makanan saja.
“Juga menyangkut sanitasi, lingkungan dari kampung, lingkungan dari RT juga berpengaruh terhadap masalah air yang ada juga sangat berpengaruh sekali terhadap stunting,” tuturnya.
Kepala Negara ingin untuk mengatasi tengkes ini dikerjakan lintas sektor. Tidak hanya urusan kesehatan saja.
Jokowi menghargai kerja keras seluruh pihak dalam upaya menurunkan angka prevalensi stunting di Indonesia.
“Kita ingat di 2014 kita masih di angka 37 (persen). Kemudian selama 9 tahun turun menjadi 21 (persen),” ujarnya.
Epidemiolog Dicky Budiman menyebut penurunan tengkes yang cukup signifikan memang harus diaperesiasi. Dia melihat ada keseriusan yang dilakukan pemerintah.
Namun, dia memberikan catatan bahwa kolaborasi dan sinergi antar program dan sektor sulit dipecahkan. Ini tentu berdampak dari tidak maksimalnya program yang bisa dijalankan. “Penanganan stunting tidak hanya level pusat. Harus sampai bawah,” tuturnya.
Tengkes bisa jadi masalah serius di kemudian hari. Apalagi ada target Indonesia emas 2045 nanti. “Penyebab dari stunting ini sangat klasik,” katanya.
Dia mencontohkan pada enam bulan kehidupan pertama bayi tidak diberikan ASI. Selain itu rendahnya status sosial ekonomi juga berpengaruh. “Ini harus diselesaikan. Tidak hanya memberikan makanan tambahan,” kata Dicky. Sehingga penanganan tengkes harus holistik.
Menyoal kebijakan percepatan penurunan stunting, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan, saat ini prevalensi stunting Indonesia berada di angka 21,5 persen. Ditargetkan pada 2029, angka prevalensi tersebut dapat ditekan hingga berada di angka 11 persen.
Karenanya, pada Juni, dicanangkan sebagai bulan pengukuran dan penimbangan balita untuk memastikan proses penimbangan dan pengukuran, pemberian afirmasi bantuan pangan, serta sanitasi untuk anak-anak dan ibu hamil berjalan dengan baik. Diharapkan, dengan terobosan ini maka didapatkan data akurat by name by address yang nantinya sebagai dasar pemberian intervensi program yang semakin terarah dan tepat sasaran.
Pengukuran dan Intervensi serentak ini, kata dia, melibatkan semua kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, hingga pemerintah desa untuk mencegah lahirnya anak stunting baru. Yang mana, sasaran pengukuran dan intervensi serentak ini adalah semua calon pengantin, ibu hamil, dan balita yang diharapkan datang ke Posyandu untuk dilakukan pendataan, penimbangan, pengukuran, edukasi, validasi, dan intervensi. Untuk itu, dia menilai kesiapan sarana dan prasarana seperti antropometri yang terstandar, kader yang kompeten, dan tenaga kesehatannya juga harus dipersiapkan dengan baik.
”Pengukuran dan intervensi serentak pencegahan stunting ini dilakukan sebagai upaya kejar target mempercepat penurunan stunting di bawah 14 persen di tahun ini,” ujarnya.
Namun di sisi lain, Muhadjir turut menekankan, bahwa kunci dalam penanganan stunting sejatinya adalah kesadaran ibu dalam memantau pemenuhan gizi serta pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Semua kegiatan yang dicanangkan pemerintah hanya bersifat membantu, tetapi kuncinya di masing-masing ibu.
Oleh sebab itu, dia meminta para ibu rutin setiap bulan datang ke posyandu untuk melakukan penimbangan. Sehingga, buah hatinya dapat dipantau tumbuh kembangnya. Apabila berat badan anak tidak naik atau turun maka didorong segera konsultasi ke petugas kesehatan atau kader di posyandu. Terlebih kini sudah dimungkinkan untuk melakukan konsultasi menggunakan layanan pesan singkat daring.
”Kemudian untuk petugas Puskesmas, kelurahan dan kecamatan agar mengecek betul kondisi ibu hamil dan gizi balita di wilayahnya. Pastikan gizi yang diberikan kepada anak tersedia,” tegasnya. Muhadjir berharap, langkah ini bisa mendukung anak-anak Indonesia menjadi generasi yang berkualitas untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Memang belum semua daerah menyadari bahayanya tengkes. Namun menurut catatan BKKBN, ada beberapa daerah yang sudah menyadari dan mencoba melakukan berbagai inovasi menanggulangi tengkes. Misalnya saja di Rembang, Jawa Tengah.
Wakil Bupati Rembang Mochammad Hanies Cholil Barro menyatakan untuk menurunkan tengkes ada beberapa hal yang dilaukan melalui kerjasama antar lembaga, dukungan anggaran, serta inovasi khusus. Desa Pasar Banggi sebagai pilot project desa lokus stunting sudah berhasil menurunkan angka stunting. “Angka stunting di Rembang berhasil diturunkan dari 24,30 persen di tahun 2023 menjadi 19,5 persen pada 2024,” katanya.
Untuk anggaran, pemda setempat memiliki Peraturan Bupati nomor 41 tahun 2023 tentang alokasi Dana Desa untuk penanganan stunting pada tahun 2023 sebesar Rp 25,3 milyar. Tahun ini naik menjadi 34,1 milyar pada 2024. (lyn/mia/jawa pos)