RADARBANDUNG.ID, BANDUNG- Sektor transportasi udara Indonesia telah mencatat berbagai pencapaian signifikan selama satu dekade terakhir. Namun, seiring dengan kemajuan ini, muncul tantangan baru yang harus dihadapi, terutama terkait dengan perkembangan teknologi dan isu lingkungan. Menurut para pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dua aspek ini akan sangat mempengaruhi masa depan industri transportasi udara di Indonesia.
Dekan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, Prof. Tata Cipta Dirgantara mengungkapkan, disrupsi teknologi merupakan salah satu tantangan besar yang akan dihadapi industri penerbangan Indonesia.
“Saat ini, kita menghadapi disrupsi teknologi, seperti teknologi digital dan energi baru, yang akan mengubah landscape industri transportasi udara di masa depan,” kata Tata, Selasa (24/9).
Baca juga : Pakar ITB: Waspadai Pergerakan Sesar Aktif di Kabupaten Bandung
Dia menilai, penggunaan teknologi digital dalam industri penerbangan, seperti sistem manajemen lalu lintas udara berbasis digital dan otomatisasi penerbangan, diprediksi akan menjadi fokus utama pengembangan industri dalam beberapa tahun ke depan. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional serta meningkatkan keselamatan penerbangan, namun membutuhkan penyesuaian besar-besaran dari para pelaku industri.
“Kita harus mempersiapkan teknologi yang sesuai agar dapat mengikuti tren global. Jika tidak, kita akan tertinggal jauh dari negara-negara maju,” ungkapnya.
Selain itu, dia menjelaskan kolaborasi antara ITB dan Kementerian Perhubungan dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan teknologi ini. Salah satunya melalui program master double degree bekerja sama dengan universitas terkemuka di Prancis, yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga ahli di bidang teknologi penerbangan.
Baca juga : Tips Bagi Anda yang Akan Melakukan Penerbangan Bersama Anak
“Kami di ITB sangat fokus pada penyiapan SDM yang unggul, karena teknologi canggih tidak akan berguna tanpa adanya tenaga ahli yang mampu mengoperasikannya,” ungkap dia.
Menurutnya, tantangan digitalisasi dan energi terbarukan memang memerlukan investasi besar, namun dirinya optimis bahwa dengan sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah, Indonesia mampu bersaing di kancah global.
“Kita memiliki potensi besar, dan dengan perencanaan yang matang, tantangan ini bisa diatasi untuk memajukan sektor transportasi udara Indonesia,” tutupnya.
Sementara itu, dosen FTMD ITB, Dr. Hisar M. Pasaribu menambahkan bahwa tantangan digitalisasi ini perlu direspons dengan cepat oleh para pelaku industri.
“Saat ini, akses teknologi sudah lebih baik, tetapi kita belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Untuk itu, kita harus melakukan studi lebih lanjut untuk meninjau ulang strategi efisiensi dan peningkatan kualitas layanan,” kata Hisar.
Menurutnya salah satu teknologi yang kini menjadi fokus utama pihaknya adalah pemanfaatan bahan bakar yang ramah lingkungan. “Dengan harga bahan bakar yang tinggi dan fluktuasi nilai tukar dolar, industri penerbangan harus mulai beralih ke bahan bakar yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” ujarnya.
“Tentu saja ini menjadi langkah penting untuk menekan biaya dan menjaga daya saing industri,” sambungnya.
Kendala Harga Tiket Hambat Pemulihan Domestik
Meskipun sektor penerbangan internasional di Indonesia mulai menunjukkan pemulihan yang signifikan, penerbangan domestik masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian publik adalah harga tiket pesawat yang cenderung tinggi, terutama di rute domestik. Menurut Dr. Hisar M. Pasaribu, tingginya harga tiket merupakan salah satu faktor yang menghambat pemulihan penerbangan domestik pasca-pandemi.
“Jika kita lihat statistik, penerbangan internasional sudah pulih hingga 95 persen, sedangkan penerbangan domestik baru mencapai sekitar 65 persen. Ini salah satunya disebabkan oleh harga tiket yang masih relatif mahal bagi masyarakat,” kata Hisar.
Ia menambahkan bahwa tingginya harga tiket ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk fluktuasi nilai tukar dan harga bahan bakar yang terus naik.
Menurutnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini mencapai Rp16.000 turut memberikan dampak signifikan terhadap biaya operasional maskapai penerbangan. “Komponen biaya yang dibayarkan dalam dolar cukup banyak, sehingga ketika dolar naik, biaya operasional maskapai juga ikut melonjak. Ini kemudian berimbas pada harga tiket yang harus dibayar oleh penumpang,” jelasnya.
Selain itu, harga bahan bakar avtur yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama mahalnya tiket penerbangan domestik. “Harga bahan bakar memang sulit dikontrol, namun ada beberapa langkah efisiensi yang bisa diambil oleh pemerintah dan pelaku industri untuk menekan biaya ini,” paparnya.
Menurutnya, salah satu langkah yang tengah dipertimbangkan adalah penggunaan teknologi baru yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada avtur. Namun, menurut dia permasalahan harga tiket ini bukanlah kesalahan pemerintah semata.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan pemerintah. Ini adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor ekonomi, baik domestik maupun global,” ujarnya.
“Pemerintah dan industri sudah melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah ini, tapi memang diperlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk menurunkan harga tiket agar lebih terjangkau,” sambung dia.
Ia juga menyoroti bahwa pemulihan sektor penerbangan domestik akan memerlukan waktu, terutama karena pola perjalanan penumpang telah berubah sejak pandemi.
“Penumpang sekarang punya lebih banyak pilihan, dan mereka tidak bisa didikte untuk memilih rute tertentu. Kita harus menciptakan kondisi yang membuat mereka mau kembali terbang, termasuk dengan menurunkan harga tiket dan meningkatkan aksesibilitas bandara,” jelasnya.
Kendati begitu, ia optimis bahwa dengan kerjasama antara pemerintah, industri, dan akademisi, sektor penerbangan domestik Indonesia akan kembali pulih sepenuhnya.
“Langkah-langkah sudah dilakukan, dan sekarang tinggal bagaimana kita bisa meninjau ulang strategi agar harga tiket lebih terjangkau dan penerbangan domestik bisa kembali normal,” pungkasnya. (rup)