RADARBANDUNG.ID, SOREANG-Minimnya pelaporan kasus pelecehan seksual terhadap anak, membuat masih sulitnya penanganan tindak kasus kejahatan tersebut.
Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus pelecehan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus.
Terakhir kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi, di Kabupaten Bandung yang dilakukan seorang Guru SMP kepada muridnya.
Baca juga : Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah, Perketat Regulasi dan Pengawasan
Menilik hal tersebut, Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, minimnya pelaporan tersebut acapkali karena keluarga korban memiliki kekhawatiran akan aib yang ditimbulkan jika melapor. Berkaca pada kasus di Kabupaten Bandung, bisa jadi banyak kasus yang belum terungkap.
“Masalahnya, sebagian besar orang tua menganggap kekerasan daring tidak berbahaya karena tidak ada kontak fisik yang terjadi, sehingga mereka memilih untuk tidak membawa masalah ini ke ranah hukum,” ungkapnya, Minggu (20/10).
Retno juga pernah mengalami kesulitan dalam menghubungi keluarga korban pelecehan seksual saat menjabat sebagai Komisioner KPAI. Banyak orang tua yang memilih untuk menutup diri dan tidak merespons ketika dimintai keterangan.
“Akibatnya, data mengenai pelecehan seksual, terutama yang dilakukan melalui media daring, tidak mencerminkan angka yang sebenarnya, karena banyak korban yang tidak terungkap,” papar dia.
Baca juga : Pemerintah Perbolehkan Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan atau Tindak Kekerasan Seksual dengan Syarat
Menurut Retno, tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan distribusi konten pornografi melalui media sosial.
“Meskipun pemerintah dapat memblokir situs web yang menyebarkan konten tersebut, mereka mengalami kesulitan dalam mengontrol penyebaran melalui aplikasi perpesanan seperti WhatsApp dan Telegram,” ungkap dia.
Ia menyatakan bahwa pemerintah harus memperkuat regulasi dan teknologi untuk mengatasi masalah ini.
“Pemerintah diharapkan dapat lebih memperkuat regulasi yang mengatur distribusi konten di platform media sosial, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melaporkan kasus kekerasan seksual,” jelasnya.
Dukungan bagi para korban, lanjut Retno, baik dalam bentuk bantuan hukum maupun rehabilitasi, juga sangat diperlukan untuk membantu pemulihan mereka.
“Dengan terus berkembangnya teknologi, tantangan dalam penegakan hukum terkait kejahatan siber akan semakin kompleks. Harapannya, semakin banyak orang tua yang berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak mereka,” pungkas dia. (kus)