RADARBANDUNG.ID, BANDUNG – “Minggu lalu baru saja panen sayuran. Jumlahnya memang baru beberapa kilogram saja.”
Kalimat tersebut dikatakan Wawan Rusmana saat memulai obrolan dengan Radar Bandung, Senin (4/11/2024).
Tetap ada rasa senang bercampur bangga. Walaupun hasil panen sayurannya tidak banyak.
Wawan yang juga Ketua RW 12 Kelurahan Dago Kecamatan Coblong menginisiasi urban farming di wilayahnya. Itu dilakukannya bersama ibu-ibu kader PKK serta sejumlah warga.
Namanya Rancage Buruan Sae. Rancage diartikan sebagai bentuk kreatifitas pemanfaatan lahan kosong yang ada dengan menanami berbagai jenis sayuran seperti terong, cabai, selada, tomat dan cabai.
Sementara Buruan Sae merupakan program urban farming yang digagas Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung. “Sebagian benih sayuran ada yang dari DKPP. Sebagian lainnya berasal dari warga,” sebut Wawan.
Tak hanya urusan bibit semata, ibu-ibu kader PKK RW 12 bersama warga bergotong royong. Mulai dari menyiapkan lahan hingga merawat tanaman. Jadi, wajar mereka gembira saat ada hasil jerih payahnya dipanen.
Tidak masalah meski hasil panennya belum banyak. Hal itu mengingat lahan yang dimanfaatkan tidak lebih dari 70 m2 dengan jumlah sayuran yang masih terbatas.
Pun ibu-ibu kader PKK yang terlibat tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian mumpuni. “Semuanya belajar secara otodidak. Alhamdulillah tetap ada hasil panen yang bisa dipetik,” ujar Wawan.
Bukan hal mudah mengelola Rancage ini. Salah satu kendalanya terkait dengan biaya, terutama saat perawatan. Belum lagi menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang bisa dilibatkan yang jumlahnya masih terbatas.
Toh, semua kendala itu tak lantas membuat Wawan surut. Bahkan Wawan bercita-cita menggalakkan urban farming serupa di sejumlah lahan kosong serta lahan rumah warga yang ada di lingkungannya.
“Manfaatnya sangat besar. Setidaknya, hasilnya bisa dipanen buat kebutuhan rumah tangga warga,” kata Wawan. Ibu-ibu tak lagi pusing saat harga cabai mahal, cukup petik dari pekarangan sendiri.
Kalaulah nanti panen semakin banyak, bisa dijual ke yang membutuhkan.
Atau, dijual di warung-warung sayuran di sekitarnya. Tentu saja dengan harga yang lebih kompetitif. Sehingga diharapkan berkontrbusi meningkatkan pendapatan yang berbanding lurus dengan terdongkraknya daya beli.
Urban farming ala Rancage yang digagaskan Wawan dan ibu-ibu kader PKK RW 12 ini memang belum bisa dibandingkan dengan urban farming atau Buruan Sae lainnya di Kota Bandung yang jumlahnya 375 titik yang terlebih dulu ada dan berkembang di Kota Bandung.
Disadari atau tidak urban farming ala Rancage ini merupakan salah satu andil pengendalian inflasi. Mereka telah turut serta secara aktif mengendalikan inflasi sebagaimana yang terus didengungkan pemerintah.
Menurut pemerhati ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Bandung, Cupian, akan semakin besar dampaknya mengendalikan inflasi manakala dilakukan sebagai sebuah gerakan massal yang menyeluruh dengan dukungan penuh para pemangku kepentingan.
“Perlu political will hingga tngkat daerah melalui kebijakan yang benar-benar dimplementasikan sehingga urban farming ini bisa benar-benar efektif,” jelas Cupian saat dihubungi Radar Bandung.
Daya dukung para pemangku kepentingan saat diperlukan. Caranya dengan menggandeng berbagai pihak yang mempunyai kapasitas. Seperti melibatkan perguruan tinggi yang memiliki kapasitas multidisiplin ilmu yang bisa diterapkan. Misalnya, perguruan tinggi diikutkan memberi bekal ilmu mulai dari yang berkaitan dengan pertanian hingga pemasaran produk ke warga pengelola urban farming.
“Dari yang tadinya warga hanya belajar otodidak, bisa memiliki kemampuan lebih. Bagaimana pemeliharaan sampai meningkatkan kualitas standar produk supaya bisa masuk ke pasar,” timpal Cupian. Sementara mahasiswa yang dilibatkan melalui semacam kuliah kerja nyata, praktek lapangan pun memperoleh ilmu manakala apa yang didapat di kampus diterapkan di masyarakat.
Bank Indonesia (BI) merupakan salah satu pemangku kepentingan yang diharapkan lebih aktif berperan. Menurut pendapat Cupian, BI memang tidak bisa berjalan sendirian. BI tetap perlu bersinergi dengan berbagai pihak. Seperti dengan komunitas hingga ke institusi yang mampu men-support dalam hal diistribusi serta pemasarannya.
Masih panjangnya mata rantai pasok selama ini masih jadi persoalan. Kondisi itu membuat harga komoditas menjadi mahal. Cupiah berharap melalui daya dukung terintegras yang bagus mampu memangkas panjang mata rantai pasok sehingga akhirnya harga komoditas dapat dikendalikan.
BI KPw Jawa Barat sebenarnya telah berupaya membuat ekosistem ketahanan pangan terintegrasi (PANGSI). Program ini dilakukan melalui Sukabumi Project dan Cianjur Project yang melibatkan pesantren dan kelompok tani, perusahaan transportasi hingga peritel modern.
Deputi Direktur BI KPw Jawa Barat, M Setyawan Santoso, menyebut ada 11 pesantren yang terlibat dalam Sukabumi Project. “Adapun komoditasnya adalah perikanan dan cabai,” jelas Setyawan saat Rakor Dwimingguan ke-38 Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jabar sebagaimana disiarkan melalui YouTube Biro Perekonomian Setda Jabar.
Sementara Cianjur Project dilakukan dengan program yang popular disebut one pesantren one product (OPOP) yang berkontribusi mampu membuat turunnya harga beras. Menurut Setyawan, project semacam ini terus dikembangkan di Subang dan daerah lain di Jabar.
Selain itu, dilakukan kerja sama antar daerah. Termasuk dengan provinsi lain seperti saat Jabar memasok kebutuhan beras bagi Kalsel. “Yang prioritas tetap antardaerah di Jabar sehingga mampu mengendalikan inflasi,” terang Setyawan.
Di tahun 2024 Jabar mentargetkan inflasi sekitar 2,5 persen. Pencapaian target inflasi yang tentu saja butuh partisipasi semua pihak, termasuk warga. Seperti halnya andil yang terus dilakukan Rancage Buruan Sae. (Ma’mun Aliah M)