RADARBANDUNG.id- Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jawa Barat berhasil memulangkan 10 Pegawai Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Barat. Dari jumlah tersebut dua orang diantaranya merupakan warga Kota Cimahi.
Kepala Tim Pencegahan dan Penanganan Kasus pada BP3MI Jawa Barat, Neng Wepi menjelaskan, pemulangan PMI yang bekerja di Myanmar tersebut berawal laporan keluarga.
“Alhamdulillah bisa pulang, diawali dengan keluarga yang mengadu pada kami di BP3MI Jawa Barat,” katanya, Jumat (6/12/2024).
Ia menambahkan, usai mendapatkan laporan tersebut pihaknya menindaklanjutinya dengan bersurat ke perwakilan PPMI di pusat.
“Kami juga berkoordinasi terus dengan Kemenlu dan perwakilan untuk menindaklanjuti kasus korban scamming online di Myanmar,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, upaya pemulangan PMI asal kota Cimahi tersebut berhasil dilakukan pada pekan lalu yakni tepatnya pada 29 November 2024 lalu dan tiba di kediamannya pada 5 Desember 2024.
“Cimahi 2 orang, Sukabumi 6 orang, Kabupaten Bandung 2 orang. Ini juga sebagai upaya sinergi pemerintah, kehadiran negara, tentu sesuai tugas fungsi masing-masing,” katanya.
Ia menyebut pemulangan 10 PMI yang disekap dan dipekerjakan sebagai scammer di Myawaddi ini termasuk yang sangat cepat, berbeda dengan PMI ilegal lain yang menunggu waktu berbulan-bulan agar bisa dipulangkan.
“Kepulangan ini termasuk yang cepat, karena di Myanmar sedang konflik dan penyelesaiannya tidak mudah juga, tapi kami terus berkoordinasi dengan Kemenlu,” katanya.
Ia menegaskan, sejauh ini tidak sedikit warga Indonesia yang terjebak dengan iming-iming bekerja di luar negeri dengan mudah. Selain itu, gaji yang ditawarkannya pun cukup membuat para PMI ini tertarik untuk berangkat.
“Penawarannya itu bekerja dengan cepat. Padahal disana dipekerjakan secara ilegal dan korban dari sindikat secara non prosedural. Kami mengimbau, kepada warga negara indonesia untuk berhati-hati bila ada tawaran di media sosial untuk berangkat ke luar negeri,” katanya.
Sementara itu, salah seorang PMI asal Kota Cimahi, Rian Setia Putra (30) mengatakan, awal dirinya nekad berangkat ke Myanmar lantaran ajakan teman. Bahkan dirinya akan diperkerjakan sebagai admin crypto di Thailand.
“Awalnya saya ditawari kerja di Thailand sama temen, temen dekat malah. Kerja jadi admin crypto, dia bilang legal kalau sudah di sana, semua biaya di tanggung mulai password, visa, dan lainnya di tanggung travel,” katanya.
Ia menambahkan, sesampainya di Thailand dirinya mengaku kaget lantaran visa yang diterimanya merupakan visa wisata. Setiba di Thailand, ia dibawa ke daerah Mae Sot karena keesokan harinya akan dijemput oleh pihak perusahaan tempatnya bekerja.
“Tapi di sana malah dibawa ke sungai, belum tahu waktu kalau saya sama teman-teman dari Indonesia mau dibawa ke Myanmar. Nah setelah masuk ke Myanmar, di situ banyak tentara bersenjata,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, setibanya dari perjalanan tersebut dirinya merasa aneh karena dipekerjakan di Myawaddi, sebuah daerah perbatasan Thailand dengan Myanmar yang sedang ada di dalam konflik berkepanjangan.
“Saya dibawa ke satu wilayah company, banyak gitu seperti kawasan industri. Ternyata di sana saya itu jadi scammer, seperti love scam. Awalnya kita disimpan di shelter perekrutan, saya disitu selama 20 hari,” katanya.
Ia menyebut, dirinya bersama rekan lainnya disekap dan bekerja di perusahaan tersebut dalam kurun waktu tiga bulan terakhir yakni bulan Agustus 2024. Tiga bulan bekerja di sana, ia dan teman-temannya melapor ke perwakilan pemerintah Indonesia.
“Ternyata disana ada cepunya dan itu dari orang Indonesia juga. Dia lapor ke leader kalau saya laporan ke pemerintah. Dari situ kita dikumpulkan, disekap tapi masih di kamar yang ada kasurnya. Tetap dikasih makan seadanya, di situ kita juga disuruh bayar denda,” katanya.
Ia menyebut, bahwa dirinya akan dibebaskan dan diizinkan pulang ke Indonesia usai membayar denda Rp500 juta per orang. Namun dirinya bersyukur akhirnya bisa kembali pulang ke tanah air dalam kondisi selamat.
“Saya tidak tahu secara jelasnya kenapa kita bisa pulang, yang kita tahu itu saat dari pihak Kemenlu saja komunikasi. Setelah dijemput, 44 hari kita diidentifikasi bahwa kita adalah korban TPPO. Setelah itu, kita ditetapkan lalu kita diterbangkan Chiang Rai Thailand, shelter perlindungan dan akhirnya pulang ke Indonesia,” tandasnya. (KRO)