RADARBANDUNG.ID, SOREANG – Sejumlah pedagang Pasar Banjaran masih menanti kepastian penempatan kios di bangunan baru Pasar Sehat Banjaran.
Mereka berharap dapat terus menjalankan usaha tanpa kehilangan pelanggan, namun sampai kini belum ada kejelasan terkait lokasi berdagang yang dijanjikan pasca-revitalisasi Pasar Banjaran.
Revitalisasi yang dilakukan sejak 2023 oleh pengelola pasar, PT Bangun Niaga Perkasa (BNP), dinilai belum membawa kepastian bagi sebagian besar pedagang lama Pasar Banjaran. Mereka mengaku khawatir karena belum memperoleh prioritas penempatan, padahal sebagian sudah mengeluarkan biaya untuk relokasi.
Para pedagang Pasar Banjaran yang belum mampu menempati kios pasar baru akhirnya tetap bertahan di lapak semi permanen di area pasar seng. Namun, ancaman pembongkaran sewaktu-waktu membuat mereka resah, terlebih tidak ada jaminan relokasi sementara dari pengelola.
Keresahan itu meningkat setelah PT BNP menerbitkan surat pemberitahuan pada 14 Mei 2025 yang meminta pedagang membongkar lapak mereka karena adanya proyek drainase di Blok II. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Direktur Utama PT BNP, Engkus Kusnadi.
Dalam surat itu disebutkan bahwa pembongkaran lapak perlu dilakukan “demi keamanan dan kelancaran pengerjaan saluran air (drainase)”, khususnya bagi pedagang kaki lima (PKL) yang menempati area terdampak proyek.
Tokoh pedagang Pasar Banjaran Cecep Rahman mengungkapkan, surat tersebut mengejutkan para pedagang.
Ia menilai pemberitahuan itu diberikan secara mendadak dan tidak diiringi dengan solusi konkret dari pihak pengelola.
“Tidak ada dialog, tidak ada tawaran relokasi sementara, hanya disuruh bongkar. Ini melukai keadilan, tindakan tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM,” ujar dia, Senin (19/5).
Sebelumnya, Cecep mengaku sempat bertemu dengan Kepala Cabang PT BNP, Anggie Agustian. Dalam pertemuan itu, menurutnya, pihak BNP menyampaikan komitmen untuk menjadikan pedagang sebagai mitra sejajar dalam pembangunan pasar. Namun janji itu belum terealisasi.
Pedagang yang menolak relokasi menyebut bahwa lokasi yang disediakan tidak strategis dan kurang mendukung aktivitas perdagangan. Sebagai alternatif, mereka memilih tetap berjualan di sekitar Jalan Kiartasan, lokasi berdagang mereka sebelum revitalisasi dimulai.
Menurut Cecep, para pedagang memiliki dasar hukum tidak tertulis atas keberadaan mereka di lokasi tersebut.
“Kami pernah mendapat izin dari Muspika, bahkan dulu ada Perdes yang memperbolehkan kami berjualan di sini,” ujarnya. (kus)