RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kala api membakar tanah asing dan kabut asap mengepung wilayah Gyeongjong, Korea Selatan, seorang lelaki dari Indramayu bergerak tanpa ragu. Ia bukan petugas pemadam, bukan relawan resmi, melainkan seorang pekerja migran Indonesia yang bekerja di kapal penangkap kepiting. Namanya Sugiarto. Usianya 31 tahun. Ia bukan hanya menjadi saksi bencana, tetapi juga bagian dari solusi di tengah kekacauan.
Duduk tenang di lobi sebuah hotel di Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Bandung, Kamis (19/6/2025), Sugiarto mencoba menata ulang potongan-potongan kenangan yang masih segar dalam ingatannya. Ia bukan TKI biasa. Ucapannya sederhana, tapi setiap kata menyimpan peristiwa besar.
“Saya masih ingat tanggalnya, sekitar 23 April 2025. Awalnya kebakaran itu terjadi di Andong, sekitar tiga jam dari tempat saya bekerja. Tapi karena angin kencang, sekitar 50 kilometer per jam, api merembet ke tempat tinggal saya di Gyeongjong. Banyak lansia tinggal di sana. Situasinya darurat sekali,” ungkapnya, Kamis (19/6/2025).
Tanpa aba-aba, insting kemanusiaan Sugiarto mengambil alih. Ia turut membantu evakuasi warga lanjut usia yang panik dan tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Bukan karena disuruh, bukan pula karena dilatih, tapi karena nilai gotong royong yang tertanam sejak kecil di kampung halamannya, Desa Jatisura, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu.
“Saya jadi ingat keluarga di rumah. Kakek, nenek saya juga sudah sepuh. Melihat para lansia itu seperti melihat keluarga sendiri. Jadi saya bergerak saja, apa yang bisa saya bantu, saya bantu,” ujarnya.
Sugiarto bukan pekerja migran ilegal. Ia menempuh semua jalur resmi untuk bisa bekerja di Negeri Ginseng. Sejak awal, keputusannya merantau bukan sekadar untuk mencari uang, melainkan upaya menjemput cita-cita yang lebih besar, hidup mandiri, membangun rumah, dan membuka usaha sendiri di tanah kelahirannya.
“Saya berangkat ke Korea Desember 2017. Sebelumnya, saya ikut pelatihan bahasa Korea selama 3 sampai 6 bulan. Ada tes mendengar, tes lisan, semuanya dijalani. Setelah itu menunggu satu tahun sampai dapat panggilan kerja,” jelasnya.
Kini, sudah delapan tahun ia bekerja sebagai awak kapal penangkap ikan dan kepiting. Ia berangkat setiap pagi dan kembali setiap sore. Meski medan kerjanya keras dan kadang penuh risiko, Sugiarto mengaku menikmati prosesnya. Ia merasa bersyukur karena bisa bekerja di luar negeri secara legal, sambil tetap menjaga jati diri sebagai orang desa yang memegang nilai-nilai etika dan tanggung jawab.
“Saya ingin punya rumah sendiri, buka usaha, dan tidak bergantung terus pada orang tua. Tapi saya sadar, saya masih butuh doa dan restu mereka. Tenaga orang tua itu berkah juga,” tambahnya.
Cerita Sugiarto tentang peristiwa kebakaran hebat yang melanda wilayah Andong hingga Gyeongjong menjadi salah satu bencana besar yang menghantam Korea Selatan tempatnya bekerja. Meskipun penyebab pastinya masih simpang siur, ada yang menyebut akibat dupa yang dinyalakan saat ziarah makam, ada pula dugaan korsleting listrik di salah satu pabrik, namun dampaknya begitu luas.
Di tengah krisis itulah, Sugiarto membuktikan status sebagai pekerja migran bukan penghalang untuk menunjukkan empati. Ia tidak diam, tidak menunggu komando. Ia bertindak. Aksi spontan itu menuai apresiasi dari warga lokal yang menyaksikan langsung bagaimana seorang pemuda Indonesia bahu-membahu mengevakuasi para lansia di kawasan rawan api.
“Saya nggak mikir pahlawan atau bukan. Saya hanya manusia yang kebetulan ada di situ dan bisa bantu. Itu saja,” ujarnya.
Namun, bagi banyak orang yang menyaksikan langsung kejadian itu, keberadaan Sugiarto adalah penyelamat. Ia menjadi simbol dari wajah baru pekerja migran Indonesia, bukan lagi sekadar buruh pencari upah, melainkan representasi karakter bangsa yang unggul, berani, dan peduli.
Di penghujung perbincangan, Sugiarto tak lupa menitipkan pesan kepada para calon TKI yang ingin mengikuti jejaknya. Ia berpesan agar siapa pun yang berniat merantau ke luar negeri, harus melengkapi diri dengan bukan hanya keahlian teknis, tapi juga kekuatan mental dan spiritual.
“Ilmu yang paling penting itu sabar. Kerja di negeri orang, kita harus sabar. Sabar menghadapi atasan, sabar hadapi budaya yang berbeda, sabar menjalani proses. Kalau kita tahan uji, insyaallah rezeki datang,” ungkapnya.
Kisah Sugiarto adalah potret tentang keberanian, ketulusan, dan nilai kemanusiaan yang melampaui batas negara. Sugiarto membuktikan Indonesia tidak hanya mengirimkan tenaga kerja, tetapi juga mengirimkan harapan, dedikasi, dan solidaritas yang bisa menyelamatkan nyawa.(dsn)