RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran angkatan 2022, Dava Adila Syuaib, berhasil meraih predikat wisudawan termuda dalam Upacara Wisuda Unpad Gelombang IV Tahun Akademik 2024/2025. Meski tidak menargetkan menjadi lulusan termuda, Dava mengaku bangga dan bersyukur atas capaian tersebut.
“Pastinya senang, walaupun sebenernya ga nyangka dan bukan menjadi target awal kuliah, tapi ya bangga dan bersyukur karena setidaknya ada yang bisa saya persembahkan ke orang tua,” ucap Dava saat dihubungi lewat sosial media, Kamis (14/8/2025).
Dava secara resmi diwisuda pada usia 19 tahun, 10 bulan, dan 23 hari. Momen membanggakan tersebut berlangsung di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025 lalu. Di balik pencapaiannya yang luar biasa, Dava mengungkapkan keluarga memegang peranan krusial dalam perjalanan pendidikannya.
“Peranya jelas sangat besar sekali, saya sedari kecil banyak belajar dari orang tua saya tentang filosofi hidup, nyatanya teori yang diberikan tentang hidup omeh keluarga saya sangat sulit dipraktekkan jika saya jauh dari keluarga,” ujar Dava.
Dava juga mengungkapkan masih banyak orang yang keliru soal strategi belajar. Menurutnya, kunci utama belajar bukanlah metodenya, melainkan disiplin diri.
“Saya sendiri suka pakai pomodoro, tapi yang paling penting menurut saya adalah latihan fokus dan jauhkan distraksi, metode belajar apapun kalau dari diri sendiri masih banyak problem tidak akan berjalan,” jelas Dava.
Selama menjadi mahasiswa Dava aktif mengikuti organisasi seperti BEM dan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia. Menurutnya organisasi tetap berperan penting dalam kehidupan akademik untuk menambah pengalaman dan memperluas relasi.
“Jelas sulit untuk membagi dan mengimbangi waktu antara organisasi dan akademik, namun ketika ada dua hal yang bertabrakan tentunya akademik yang lebih utama,” ucap Dava.
Menjadi mahasiswa kedokteran di FK Unpad, Dava mengungkapkan tantangan terbesar berasal dari keilmuannya. Ia merasa kesulitan untuk memahami beberapa topik di kedokteran. Berkat dukungan lingkungan perkuliahan yang suportif, ia dapat melewati tantangan yang ada dan dibentuk menjadi mahasiswa berilmu, beradab, dan berkarakter.
Selain sulitnya memahami pembelajaran di kedokteran, Dava juga merasakan hal yang sama dengan kebanyakan orang yaitu kurangnya motivasi dalam belajar atau demotivasi. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya Dava berusaha membuat suasana nyaman dengan menata barang-barang di sekitarnya.
“Ketika demot tuh aku suka randomly menata kamar atau mungkin aku tata ulang supaya feelnya lebih nyaman. Kalau udah nyaman, mau belajar atau melakukan aktivitas lain jadi lebih enak. Karena kalau langsung belajar tuh kayak langsung ditimpa hal yang gede banget,” ungkap Dava.
Dava juga bercerita momen paling berkesan selama menempuh pendidikan di Unpad adalah mendapat kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya langsung di depan anggota DPR Komisi IX.
“Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk bisa langsung bertemu dengan anggota DPR KOMISI IX,” ujarnya.
Dava menambahkan mata kuliah yang ia minati adalah bidang neurologi karena bidang ini mengajarkan bagaimana otak bekerja, manusia bersikap dan berperilaku sehingga menantang untuk dapat berpikir lebih jauh.
Dava berharap, kedepannya ia bisa melesat lebih jauh terlebih untuk hal pendidikan seperti beasiswa S2 dan S3 serta publikasi tingkat Q1 atau Q2.
“Itu kan hal yang sangat membanggakan dan itu buat diri saya sendiri jujur itu bisa jadi target atau capaian awal,” ungkapnya.
Mengenai rencana spesialisasi, Dava mengaku belum memiliki pilihan yang spesifik. Ia mengatakan minat sesungguhnya bisa saja ia temukan saat menjalani rotasi klinik atau koas. Menurutnya, fase preklinik belum memberikan gambaran yang cukup untuk menentukan spesialisasi.
“Ketika udah koas saya berharapnya bisa melihat hal-hal yang lebih klinis yang memang akhirnya bisa menemukan minat saya,” ucapnya.
Dava juga menyampaikan pesan untuk lebih sadar dan beradaptasi terhadap digitalisasi. Ia melihat digitalisasi sebagai pedang bermata dua yang dapat mempermudah sekaligus mempersulit. Ia mencontohkan, banyak pasien yang kini datang dengan bekal informasi yang mereka cari sendiri melalui Artificial Intelligence (AI).Walaupun pasien menjadi lebih terinformasi, pemahaman mereka seringkali belum lengkap. Di sinilah peran dokter menjadi krusial dan tak tergantikan.
“Untuk hal-hal yang klinis kayak misalkan kita perlu lakukan pemeriksaan fisik perlu lakukan yang namanya palpasi, auskultasi, dan lain-lain sehingga hal-hal tersebut kan ga mungkin bisa dilakukan oleh AI,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemahaman mendalam mengenai perjalanan penyakit, patogenesis, dan patofisiologi adalah keunggulan dokter yang tidak dapat ditiru oleh kecerdasan buatan. Menurutnya, pesan ini adalah pengingat bagi dirinya sendiri dan rekan-rekannya untuk terus mengasah kemampuan klinis yang membedakan mereka dengan teknologi.(dsn/mg1/mg2/mg3)