News

Peminat Tinggi, Bendera One Piece Tetap Dijual Sembunyi-Sembunyi

Radar Bandung - 15/08/2025, 16:29 WIB
D
Darmanto
Tim Redaksi
Ilustrasi : Pedagang bendera musiman mulai ramai membuka lapak di tepi Jalan Margaasih Kab Bandung. (eko sutrisno/radar bandung)

RADARBANDUNG.ID, SOREANG–Jelang perayaan Agustusan, pedagang bendera di Pasar Soreang sempat mendapat pesanan khusus: bendera bajak laut ala One Piece.

Namun, pesanan itu tidak jadi dipenuhi karena muncul isu pelarangan dan razia aparat.

Penjual bendera musiman yang membuka lapak di tepi Jalan Raya Soreang-Baleendah, Rizna (bukan nama sebenarnya) mengaku sudah ditawari membuat bendera bergambar Jolly Roger.

Ia menolak karena khawatir dagangannya disita.

“Awalnya banyak yang tanya, bahkan ada yang pesan lusinan. Tapi saya takut kalau nanti malah dirazia, karena ada kabar di Bandung beberapa lapak didatangi polisi hingga satpol PP, jadi saya putuskan tidak usah bikin,” ujar Rizna, Kamis (14/8).
Menurut Rizna, peminat bendera One Piece justru cukup tinggi tahun ini.
Namun, ia memilih hanya menjual bendera merah putih, umbul-umbul, dan pernak-pernik kemerdekaan.

“Lebih aman, dan tidak mau cari masalah,” tambahnya.

Meski demikian pihaknya mengatakan, pedagang yang nekat menjajakan bendera jolly roger one piece tetap masih ada. Namun beralih di sosial media seperti facebook maupun shopee.

“Tetap ada yang jual namun sembunyi – sembunyi, biasanya mereka bikin akun anonim atau baru untuk berjualan di online. Karena memang orderan terus meningkat di tengah isu pelarangan pemasanganya,” ujar dia.

Menanggapi pelarangan bendera one piece tersebut, Arlan Siddha, pengamat politik dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi, menilai wajar jika simbol dari anime dipakai masyarakat.

“One Piece itu kisah tentang perlawanan terhadap ketidakadilan. Jadi wajar kalau masyarakat meminjam simbol itu untuk menyuarakan keresahan,” ujarnya, Kamis (14/8).

Ia menekankan, pengibaran simbol-simbol non-negara tidak otomatis menunjukkan sikap anti-NKRI.

“Yang penting merah putih tetap dikibarkan, tetap dihormati. Pemerintah tidak perlu takut dengan bentuk ekspresi seperti ini,” katanya.

Menurut Arlan, pelarangan justru berpotensi memperkeruh suasana. Dalam demokrasi, orang bebas berekspresi. Yang terlihat sekarang adalah kreativitas masyarakat yang mencari bahasa simbolik.

“Fenomena ini akhirnya memperlihatkan dilema sederhana: pedagang bendera seperti Rizna memilih berhitung soal risiko, sementara masyarakat tetap mencari jalan untuk menyalurkan suara kritis lewat simbol budaya populer,” pungkasnya. (kus)