RADARBANDUNG.ID, BANDUNG – Lulusan sekolah musik diharapkan bisa langsung beradaptasi dan menangkap dengan semua elemen perkembangan industri digital.
Rancangan Undang-undang Permusik yang saat ini sedang dibahas diharapkan bisa mengakomodir semua aspek yang dibutuhkan musisi dalam berkarya.
Hal itu disampaikan Sekolah Tinggi Musik Bandung (STiMB) Bucky Wikagoe mengatakan, dalam perkembangan industri digital, banyak medium yang bisa dimanfaatkan para musisi untuk memasarkan karyanya.
Dengan kata lain, selain kualitas musikalitas mereka harus punya cukup bekal dalam menguasai teknologi.
“Kita tidak ingin lulusan kita keteteran menghadapi industri musik. Di era revolusi industri 4.0, kita siapkan lulusan STiMB agar mampu menguasai teknologi dan digital market,” ungkap Bucky usai acara Wisuda ke-7 dan Dies Natalis ke-17 STiMB di De Majestic, Jalan Braga, Kota Bandung, Kamis (31/1/2019).
Ia berharap lulusan sekolah musik harus memahami regulasi dalam industri musik, khususnya yang terkait dengan kekayaan intelektual. Ia menegaskan para lulusan musik harus memperhatikan, mengawal dan mmahami Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemusik yang saat ini dibahas di DPR RI.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan dinilai berpotensi membelenggu kreativitas musisi dan belum menyentuh dan menyasar tata kelola industri musik secara komprehensif. Justru, terdapat beberapa pasal yang berpotensi menghambat kebebasan berekspresi para pelaku musik.
Naskah RUU Permusikan justru mengulang banyak hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Seperti, UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta; UU No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan; UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yang baru disahkan pada Desember 2018 lalu.
Berdasakan hasil kajian naskah akademik, harusnya RUU ini fokus pada tata kelola industri musik yakni, memberikan aturan tegas terhadap semua para pemangku kepentingan dalam ekosistem industri musik.
Lalu, yang mesti menjadi perhatian pembentuk UU terkait substansi/materi muatan RUU Permusikan ini yang perlu dikritisi, yakni adanya potensi ancaman pidana bagi para pelaku musik atau musisi itu sendiri.
Larangan dan ancaman pidana bagi musisi tertuang dalam Pasal 5 jo Pasal 50 RUU Permusikan. Padahal, tak tertutup kemungkinan hasil karya musisi dapat disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi sang musisi.
Adanya Pasal 5 RUU Permusikan menjadi ancaman bagi para musisi yang penerapannya rentan disalahgunakan. Baginya, keberadaan Pasal 5 RUU Permusikan warning keras bagi para musisi ketika membuat karya musik agar tidak menerobos batas-batas yang digariskan ketika UU ini berlaku nantinya.
Selain persoalan pengaturan ancaman pidana bagi musisi, ada persoalan sertifikasi terhadap para pelaku musik. Hal ini berpotensi menimbulkan kelas-kelas elit dalam industri musik di Indonesia sekaligus bertentangan dengan cita-cita membuat musik yang bersifat inklusif dan dinikmati banyak orang.
“Nuansa RUU ini terlalu multitafsir. Ini yang harus kita cermati. Salah satu misal poin dalam RUU itu tentang budaya barat yang negatif dan poin tentang moralitas. Bicara budaya harus hati-hati, harus kontekstual. Apalagi kita sudah menuding. Jangan mengungkung kebebasan ekspresi seniman,” ucapnya.
“Sosial kontrol itu jangan bisa dipidana, seperti lagu iwan fals berjudul bongkar. Saya kira DPR dalam merancang undang-undang ini harus hati-hati jangan buru-buru,” lanjutnya.
Bucky menambahkan, dalam acara wisuda kali ini, STiMB mewisuda 32 lulusan yang berasal dari program S1 Seni Musik dan D3 Penyaji Musik.
“Ini jumlah yang cukup besar bagi untuk ukuran sekolah tinggi musik yang mengkhususkan di bidang musik,” terangnya.
Di tempat yang sama, vokalis band Java Jive, Dani menambahkan mengenai RUU Pemusik idealnya bisa memayungi pelaku industrinya secara general.
Semua pemikiran dari musisi di daerah harus juga diakomodir. Ia melihat rancangan RUU Pemusik hanya mewakili suara musisi dari kota besar, dalam hal ini Kota Jakarta.
“Ramuan (RUU) itu tidak bisa diwakili sehingga ini terkesan terlalu dipaksakan. Makanya adanya pasal karet itu masih terlalu sempit. Tapi mudah-mudahan ruu itu bawa kebaikan untuk industri musik,” ucapnya.
Sejauh ini, ia menilai industri musik dalam fase mati suri. Para musisi perlu kanalisasi baru untuk memperoleh dari industri digital. Untuk itu, para lulusan sekolah musik diharapkan bisa segera beradaptasi dan menguasai beragam platform.
(azs)