Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Apindo: Ekonomi Bisa Stuck Semua
RADARBANDUNG.id- Pemerintah resmi menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri mulai 1 Juli mendatang untuk kelas I dan II.
Bagi peserta kelas III, kenaikan baru akan berlaku pada 2021. Kenaikan iuran tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, kenaikan iuran BPJS ini akan membuat kesempatan bagi para pelaku usaha untuk meminta relaksasi pembayaran iuran semakin menipis.
Bukan hanya perusahaan saja yang merasa keberatan, bahkan masyarakat pun akan terkena imbasnya dalam membayar iuran. Apalagi saat ini masih masa pandemi Covid-19.
“Kalau memang itu dinaikkan, yang kita khawatirkan semuanya, bukan hanya perusahaan saja, untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah juga akan mengalami kendala untuk bisa membayar iuran, mereka kemungkinan tidak bisa membayar iuran,” ujar Hariyadi dalam diskusi daring Forum Diskusi Salemba, Rabu (13/5/2020).
Apabila para peserta bukan penerima upah kesulitan membayar iuran, kemungkinan besar mereka tidak bisa mendapatkan akses untuk manfaat kesehatan.
“Ini cukup serius ya, ujung-ujungnya kalau aktivitas ekonominya nggak jalan ya akhirnya stuck semua, bagaimana kita bisa melonggarkan, bagaimana kita bisa berjalan,” ucapnya.
Perlu diketahui, Selasa (5/5), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perpres tersebut. Kenaikan iuran BPJS tersebut diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya:
1.Iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
2.Iuran peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
3.Iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Sebelumnya, pada Maret 2019 lalu, Mahkamah Agung (MA) pernah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pembatalan itu dilakukan melalui putusan judicial review terhadap Peraturan Presiden No. 75/ 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Jaminan Kesehatan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang. Pasal 34 Perpres No. 75/ 2019 yang dibatalkan oleh MA memuat mengenai kenaikan tarif iuran kelas BPJS yang mencapai 100 persen.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro mengatakan, MA menghormati langkah Presiden Jokowi yang kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia menilai, tentunya kebijakan itu telah menjadi pertimbangan pemerintah.
“Jika benar Presiden telah menerbitkan Perpres baru yang menaikkan (lagi) iuran BPJS, tentu sudah dipertimbangkan dengan saksama. Mahkamah Agung (MA) tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah,” kata Andi Samsan dikonfirmasi, Rabu (13/5/2020).
Kendati demikian, jika ada masyarakat yang kembali menggugat Perpres baru soal kenaikan iuran BPJS, MA akan secara adil menanganinya.
“MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materiil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, dan itupun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA,” tukas Andi.
(jpc)