KEJADIAN bom bunuh diri yang dilakukan pasangan muda di depan Gereja Katedral Makassar dan serangan penembakan oleh seorang perempuan muda kepada aparat kepolisian di Mabes Polri menambah catatan hitam tindakan aksi terorisme di tanah air.
Persoalan terorisme ini bukan barang baru, namun tidak pernah kunjung usai hingga saat ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa generasi muda lagi-lagi dijadikan sasaran empuk sebagai eksekutor dalam berbagai aksi teror?
Jiwa muda yang menggebu-gebu dan sisi pemikiran yang labil masih ditengarai menjadi salah satu faktor potensial anak muda mudah terpapar pemikiran terorisme.
Hal tersebut berangkat pula dari permasalah ideologi, teologi hingga ekonomi yang dialami generasi muda sehingga nekat melakukan aksi teror.
Internet dan media sosial menjadi saluran efektif dalam menyebarluaskan ajaran dan pemahaman ideologi terorisme. Target sasaran para penganut paham terorisme ini adalah mereka kaum muda yang aktif menggunakan media sosial, namun kering secara spritual.
Paham kebencian terhadap perbedaan menjadi mudah dihembuskan serta propaganda-propaganda dibalut ajaran teologi keagamaan dijadikan alasan sebagai jalan perjuangan meraih surga dengan aksi teror.
Adalah benar bahwa dogma agama tidak mengajarkan kekerasan, meski sejarah dan realitas memperlihatkan kekerasan itu ada. Jika ada kekerasan atas nama agama, itu bukanlah agama namun tindakan yang salah dari interpretasi yang salah terhadap penafsiran agama.
Dalam hal ini menunjukan bahwa kesalahan bukan pada agama namun kesalahan cara berpikir seseorang sehingga membenarkan cara-cara dengan aksi teror. Dari hal tersebut menegaskan bahwa perlu adanya upaya preventif dalam menanggulangi kasus terorisme.
Upaya preventif itu di antaranya adalah dengan mengedapankan literasi internet. Literasi internet merupakan keterampilan mutlak yang perlu dimiliki setiap warga negara yang hidup di era digital saat ini.
Literasi internet berarti kemampuan untuk mencari informasi yang dibutuhkan dengan pemanfaatan internet.
Ada tiga poin yang diperhatikan dalam literasi internet, yaitu yang pertama adalah kemampuan untuk mengetahui konten ilegal dan berbahaya di internet, yang kedua merupakan kemampuan untuk berkomunikasi di Internet dengan baik, dan yang ketiga adalah kemampuan untuk memproteksi privasi dan melakukan tindakan keamanan.
Keterampilan literasi internet ini ibaratkan sebuah vaksin dalam melawan virus-virus terorisme yang menyasar ranah pemikiran dan ideologis generasi muda di internet dan media sosial.
Sehingga diharapkan dengan memiliki keterampilan literasi internet ini dapat memutus mata rantai pemikiran terorisme dan meruntuhkan kebuntuan akal sehat yang semakin masif tersebar di media sosial kita.
Penulis: Fajar S. Dwi Putra
Dosen Pancasila Universitas Insan Cendekia Mandiri ***