News

Solidaritas Komunitas Musik Rock dan Metal di Bandung Difilmkan

Radar Bandung - 04/05/2021, 20:15 WIB
AY
Ali Yusuf
Tim Redaksi
Potongan adegan pada film dokumenter Gelora Magnumentary" 'Story of Gedung Saparua' yang mengisahkan tentang perjalanan musik rock-metal di Indonesia.

Film dokumenter “Gelora Magnumentary” ‘Story of Gedung Saparua’ menyoroti solidaritas tanpa batas komunitas musik rock dan metal di Bandung

RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Kejayaan Gedung GOR Saparua sebagai lokasi pertunjukan musik di Kota Bandung di awal tahun 90an, memang tidak perlu diragukan.

Menjadi tempat berkumpulnya seluruh musisi lintas genre, di masa itu membuat GOR Saparua menjadi tempat paling bergengsi bagi para musisi indie.

Berangkat dari sana, sebuah film dokumenter berjudul “Gelora Magnumentary” ‘Story of Gedung Saparua’ dibuat. Film dokumenter ini menyoroti solidaritas tanpa batas komunitas musik rock dan metal di Bandung.

Direncanakan tayang di pertengahan tahun ini, Gelora Magnumentary melibatkan banyak musisi, baik itu dari segi penggarapan atau narasumbernya.

Dipilihnya Saparua sebagai subjek dokumenter film ‘Gelora Magnumentary’ Story of Gedung Saparua, tak terlepas dari sejarah panjang yang tersaji, terutama sebagai infrastruktur yang mendukung pergerakan musik independen.

Creative Director Film ‘Gelora Magnumentary’ Edy Khemod menuturkan, Saparua menjadi panggung bagi banyak musisi Bandung rock dan metal karena tempat ini aksesibel untuk membuat acara swadaya.

“Saparua yang merupakan titik sentral kota Bandung juga memudahkan pertemuan akulturasi dari berbagai karakter pelaku kreatif di Bandung,” kata Edy yang juga drummer Seringai.

Kelompakan penggemar musik dari berbagai genre yang dikumpulkan di satu tempat disaksikan langsung oleh Alvin Yunata.

Sutradara film ini mengatakan, di GOR Saparua ia menyaksikan bagaimana penggemar musik dari berbagai genre dapat tergabung di satu tempat. Metal, punk rock, alternative semuanya mendapat panggung yang sama.

Pada pertengahan 90an, Alvin bergabung dengan Harapan Jaya yang kemudian mengisi banyak panggung yang terselenggara di Saparua.

“Tahun 1994 adalah tahun di mana membawa saya sebagai saksi hidup lahirnya term underground di Bandung. Sadar atau tidak Saparua banyak mengubah cara pandang saya. Pemikiran di luar normatif, kemungkinan besar tanpa adanya Saparua saya tidak pernah bergabung dengan Harapan Jaya, Teenage Death Star hingga Irama Nusantara,” jelas Alvin.

Fakta lain yang tidak kalah menarik datang dari legenda musik Indonesia, Sam Bimbo. Sam bersama adiknya Atjil pada awal 1960an membentuk band bersama Guruh Soekarno Putra yang ketika itu berkuliah di ITB bernama Aneka Nada.

Sam mengungkapkan kalau pertunjukan pertama band tersebut bersama band legendaris asal Jakarta, Eka Sapta adalah di Saparua.