RADARBANDUNG.ID, SOREANG– Ketimpangan sosial dan tekanan ekonomi yang kian memburuk menjadi penyebab utama munculnya berbagai aksi kriminal di Kota Bandung.
Masyarakat yang hidup dalam keterbatasan kerap mengalami tekanan mental yang berujung pada tindakan menyimpang.
Menurut data Polda Jawa Barat mencatat 22.058 tindak pidana sepanjang 2024, menunjukkan bahwa tren kejahatan masih menjadi tantangan serius di wilayah Jawa Barat termasuk Bandung Raya.
Dalam catatan Radar Bandung, pada bulan Juni Polresta Bandung berhasil mengungkap 4 kasus kejahatan, dari penangkapan premanisme, geng motor, hingga pengungkapan kasus pembunuhan.
Menilik tingkat kejahatan di Kabupaten Bandung dan Jawa Barat, Kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar menyebut, kejahatan yang kini marak terjadi di Kabupaten Bandung mulai dari pembegalan, pencurian, hingga kekerasan oleh geng motor tidak bisa dilepaskan dari persoalan frustrasi akibat kesenjangan ekonomi dan sulitnya mencari penghidupan layak.
“Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, sementara tekanan hidup terus meningkat, maka risiko terjadinya pelanggaran hukum pun ikut naik,” ujar Yesmil, Jumat (13/6).
Ia menambahkan bahwa Kabupaten Bandung menjadi tempat berlabuh bagi banyak orang yang datang dari berbagai daerah untuk mencari penghidupan.
“Sayangnya, tidak semua berhasil. Mereka yang gagal mendapatkan pekerjaan cenderung mengalami kekecewaan dan kehilangan arah, apalagi bila beban ekonomi menumpuk,” ungkap dia.
Menurutnya, dalam kondisi tersebut, sebagian orang mulai melihat kejahatan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk bertahan hidup.
“Mereka bukan semata-mata ingin melakukan kejahatan, tetapi karena kondisi mendorong mereka ke arah itu,” ungkapnya.
Yesmil menilai bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi pada kalangan dewasa. Anak-anak muda pun menjadi kelompok rentan, terutama jika berasal dari keluarga kurang mampu dan lingkungan yang minim perhatian. Bahkan, banyak pelaku kejahatan jalanan yang masih berstatus pelajar.
“Remaja dari keluarga miskin, ketika melihat jalan hidup yang sempit dan tidak punya pilihan, bisa terdorong untuk mengekspresikan frustrasinya dalam bentuk pelanggaran hukum,” jelasnya.
Frustrasi akibat kemiskinan ini pun, menurut Yesmil, tidak selalu dilandasi motif ekonomi secara langsung. Tindakan kriminal juga bisa muncul sebagai bentuk pelampiasan, pencarian identitas, atau bahkan tekanan sosial dari kelompok pertemanan.
“Dalam kondisi tekanan terus-menerus, nilai-nilai moral bisa luntur. Apalagi jika lingkungan sekitar tidak memberikan dukungan atau ruang aman untuk mengembangkan diri secara sehat,” ujar dia.
Yesmil menekankan bahwa mengatasi persoalan ini bukan hanya tugas aparat hukum. Solusi justru harus dimulai dari hulu, yakni penanggulangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan penguatan struktur sosial di tingkat keluarga dan masyarakat.
“Kalau kita ingin menurunkan angka kriminalitas, kita harus mengobati akarnya, bukan hanya gejalanya. Pemerintah, sekolah, tokoh agama, hingga komunitas lokal harus bersinergi,” tandasnya. (kus)