RADARBANDUNG.id – Banyak usaha hancur lebur diterpa pandemi Covid-19. Entah itu, usaha berskala besar, maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Di awal pandemi, lesunya usaha ikut dirasakan oleh Hj Eti Sumiati. Perempuan yang akrab dipanggil Nenek Eti ini turut merasakan masa-masa sulit tatkala usaha Kopi Wanoja yang dirintisnya sejak 2012 ikut diterpa pandemi. Penjualan melorot drastis seiring pemberlakukan pembatasan mobilitas masyarakat di masa pandemi.
Di satu sisi lainnya, Nenek Eti harus memikirkan nasib pekerjanya. “Saya harus memikirkan orang-orang yang membantu saya supaya tetap dapat bekerja. Meski kondisi sulit, jangan sampai ada yang di-PHK,” aku wanita berusia sekitar 70 tahunan ini saat dihubungi RADAR BANDUNG, Kamis (11/11) lalu.
Nenek Eti memproduksi kopi specialty yang di-branding Wanoja. Kopi tersebut hasil olahan dari perkebunan kopi sekitar 90 hektare di kawasan Ibun Kabupaten Bandung yang dikelolanya bersama lebih dari 55 orang anggota Kelompok Tani Wanoja.
Sementara pemprosesan biji kopi menjadi bubuk kopi serta pengemasan hingga siap jual, Nenek Eti dibantu sebanyak 25 pekerja. Di mana mayoritas perempuan yang di antaranya merupakan single parent.
Jika mereka di-PHK berarti keluarganya kehilangan tulang punggung sumber penghidupan sehari-hari. Toh demikian, pandemi tetap memaksa Nenek Eti menerapkan sistim gilir kerja bagi pekerjanya.
Tak berlama-lama berpangku tangan memikirkan bagaimana nasib pekerjanya, Nenek Eti memilih berkreasi. Usaha penjualan melalui digital marketing melalui marketplace dilakukan. Perkuatan jaringan buyer terus dilakukan secara online.
Permintaan ekspor dari salah satu eksportir di Surabaya tetap diterimanya. Ekspor ke Timur Tengah dan sejumlah negara di Eropa itu diakui Nenek Eti volumenya tidak banyak, hanya berkisar 500 kg saja.
Nenek Eti bersyukur dirinya masuk dalam UMKM mitra Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan (KPw) Jabar. Hingga ia banyak dibantu mencari pasar baik lokal maupun ekspor melalui berbagai pameran. Walhasil, cara itu sedikit banyak menolongnya tetap eksis dan bertumbuh di masa pandemi.
Penjualan offline lainnya tetap tak ditinggalkan, Nenek Eti masuk ke instansi-instansi pemerintah untuk memasarkan produk kopi specialty Wanoja-nya.
Bagaimana hasilnya? “Memang belum sebagus penjualan sebelum pandemi. Alhamdulillah, saya tidak sampai mem-PHK mereka yang telah bertahun-tahun ikut membantu saya membangun Kopi Wanoja,” jawab Nenek Eti.
Setelah hampir dua tahun pandemi berlangsung, Kopi Wanoja nyatanya mampu eksis. Masa-masa sulit saat pandemi mampu ditaklukkan. Berlahan-lahan penjualan kembali meningkat. Memang, lanjut Nenek Eti, volume penjualan Kopi Wanoja belum menyamai saat sebelum pandemi melanda.
Menurutnya, berkurangnya produksi tanaman kopi turut berpengaruh terhadap belum pulihnya penjualan kopi. “Ada penurunan produksi sekitar 20 persen karena faktor cuaca yang tidak mendukung,” ungkap Nenek Eti. Secara keseluruhan, sebut Nenek Eti, di tahun 2020 lalu mampu diproduksi sebanyak 120 ton kopi yang sebagian besar terserap pasar.
Akibat berkurangnya volume produksi, permintaan pasar ekspor belum semuanya bisa dipenuhi. Sebab, volume ekspor yang harus dipenuhi lebih besar ketimbang produksi yang masih fluktuatif.
Pasar ekspor disebutkan Nenek Eti sangat terbuka dengan tujuan ekspor antara lain ke Turki, Irlandia, Maroko, Australia, Belanda sera Singapura. Mengingat sebagai specialty coffee, Kopi Wanoja memiliki kualitas rasa yang khas yang telah diakui dunia.
Rasa khas Kopi Wanoja yang ini mampu menduduki peringkat kedua pada Kontes Kopi Specialty Indonesia (KKSI) tahun 2015 lalu. Komoditas kopi arabika Wanoja yang khas serta unggul bahkan membuat Nenek Eti dianugerahi penghargaan Anugerah Pratama Perkebunan Indonesia (APPI) Award Katagori Pekebun oleh Kementerian Pertanian di Tahun 2020
Pakar ekonomi Universitas Sangga Buana (USB) Bandung, Dr H Asep Effendi, SE., MSi., berpendapat perlunya standardisasi produk UMKM baik secara kualitas maupun kuantitas. Sejauh ini, kontinuitas volume produksi masih merupakan problem bagi UMKM.
“Kalau secara kuantitas belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh importir, jelas ini masalah bagi UMKM. Setiap negara tujuan ekspor punya standard berapa volume yang harus dipenuhi. Kalau ada standardisasi yang disesuaikan standar pasar ekspor, saya kira itu sangat bagus bagi kontinuitas ekspor UMKM,” jelas Asep secara terpisah.
Standardisasi baik secara kualitas dan kuantitas ini sangat menentukan akselerasi UMKM di era digital ini. Sebab, di era digital pangsa pasar produk UMKM semakin luas dan potensi itu baru bisa dimanfaatkan jika UMKM mampu memenuhi standar kualitas dan kuantitas.
Kepala BI KPw Jawa Barat Herawanto menyatakan Kopi Wanoja termasuk dalam kluster kopi yang menjadi perhatian penuh BI. “Kopi Wanoja termasuk specialty coffee yang kami harapkan bisa bersaing go global di pasar ekspor,” tutur Herawanto dalam keterangan pers, “UMKM Jabar Binangkit: UMKM Bangkit, Inovatif, Adaptif, Go Global dan Digital”, Senin (8/11) lalu.
Dalam melakukan pendampingan BI KPw Jawa Barat telah memperhatikan aspek kualitas maupun kuantitas produk UMKM mitra. Hal lainnya menyangkut pendampingan membangun jejaring pemasaran, pembiayaan maupun membangun kesiapan UMKM mitra memasuki era digital sehingga bisa go international. (Ma’mun Aliah Malik)