RADARBANDUNG.id- Umat muslim di seluruh dunia setiap tahunnya merayakan keistimewaan Hari Raya Idul Fitri.
Idul Fitri merupakan hari yang dirayakan oleh seluruh umat Islam pada tanggal 1 Syawal setiap tahunnya. Perayaan ini dilakukan sebagai wujud kegembiraan setelah sebulan penuh menjalani puasa di bulan Ramadan.
Sebagai hari besar umat Islam, kehadiran hari raya Idul Fitri begitu dinanti-nanti.
Baca Juga: 8 Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Fitri
Mungkin kamu juga sudah familiar menyebut Idul Fitri dengan istilah lebaran. Saat kecil di kampung, mungkin sering mendengar pertanyaan, “sudah beli baju lebaran belum?” atau juga “sandal lebaran kamu mana?” atau “lebaran kemarin kamu dapat THR berapa?” Pertanyaan itu tidak asing lagi di telinga kita saat jelang Idul Fitri.
Istilah lebaran memang sudah cukup populer serta identik di Indonesia. Tapi, apa makna Idul Fitri yang sesungguhnya?
Baca Juga: Doa untuk Ziarah Kubur dengan Tata Caranya
Terkait ini, berikut penjelasan seputar makna Idul Fitri atau yang sering kita sebut Lebaran menurut Prof Quraish Shihab, sebagaimana dikutip dari laman NU Online.
Sebagaimana dalam penjelasan Mengurai arti Idul Fitri, Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) mengartikan bahwa Id berarti kembali dan fithr dapat diartikan agama yang benar atau kesucian atau asal kejadian.
Jika umat Islam memahaminya sebagai agama yang benar, maka hal itu menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Al-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa juga termasuk ajaran agama karena Nabi juga bersabda, Al-Din Al-Nashihah.
Dengan demikian, setiap yang ber-Idul Fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.
Fithrah berarti kesucian. Ini dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian.
Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.
Suara yang didengar itu adalah suara Fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata.
Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya.
Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiyfi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut: