RADARBANDUNG.ID – Kualitas udara Jakarta kembali menduduki posisi pertama kota dengan udara terburuk di kemarin (13/8) pagi. Bahkan, hingga sore hari, sekitar pukul 17.00, Jakarta masuk peringkat 13 dengan kualitas terburuk di dunia berdasarkan data pada laman pemantauan kualitas udara IQAIR.
Saat menduduki posisi pertama, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta pada pukul 07.00 berada di angka 172 dengan kategori tidak sehat. Sementara untuk pukul 17.00 indeks AQI Jakarta di angka 94 dengan kategori sedang. Direktur Jenderal Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro mengungkapkan penyebabnya. ”Jadi, kalau dari sisi siklus, memang bulan Juni, Juli, Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi udara dari timur yang kering,” ungkap dia.
Menurut Sigit, pencemaran udara tersebut berasal dari bahan bakar yang merupakan sumber emisi. Diantaranya minyak, gas, dan batubara. Dia menyebut, emisi terbesar berasal dari sektor transportasi yang menyumbang sebanyak 44 persen. Kemudian disusul sektor industri energi 31 persen, manufaktur industri sepuluh persen, dan komersial satu persen. ”Peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas udara itu adalah kalau kita menyentuh dari sektor transportasi. Dan cara itu juga telah berhasil diterapkan di Bangkok yang dulu nomor satu pencemaran udaranya,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Sigit, dari beberapa rekomendasi upaya pengendalian emisi pun didorong untuk menggunakan kendaraan listrik dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Termasuk pengetatan standar emisi untuk transportasi umum Euro 4, pengadaan bus listrik untuk Transjakarta, dan uji emisi secara berkala. ”Dari rekomendasi itu, sebetulnya kita sudah melakukan banyak hal, yang kebanyakan operasional listrik memang tidak di LHK, tapi di ESDM. Yakni dengan program pemberian subsidi, tapi ternyata minat kita untuk menggunakan listrik masih kurang,” ujar Sigit.
Selain itu, pihaknya juga telah menyelesaikan beberapa peraturan. Diantaranya peraturan untuk mendukung uji emisi, pengaturan baku mutu untuk sumber tidak bergerak, serta pengaturan cerobong asap. Termasuk penyusunan standar nasional sistem pemantauan kualitas udara otomatis yang bekerja sama dengan BSN. Sebab, menurutnya, selama ini data kualitas udara yang tersedia tidak semuanya reliable. ”Kami juga telah mulai uji berkala kendaraan bermotor secara besar-besaran, tidak hanya di Jakarta. Karena pencemaran udara yang terjadi di Jakarta itu tidak cukup dilakukan oleh DKI saja, tapi harus dilakukan dengan daerah sekitar,” beber Sigit.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengungkapkan bahwa kondisi kualitas udara Jakarta sepanjang 2023 memang cukup fluktuatif. Salah satu sebabnya adalah musim kemarau. Untuk itu, Pemprov DKI telah menyusun beberapa regulasi tentang pengendalian pencemaran udara. ”Kami juga sedang menyusun strategi pengendalian dalam bentuk pergub yang dalam waktu dekat akan ditandatangani gubernur. Kemudian, kami juga mendorong Satlantas saat menggelar operasi, semisal Patuh Jaya, agar juga dilakukan pengecekan uji emisi,” kata Asep.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengungkapkan, untuk sektor transportasi ada beberapa strategi jangka mendesak maupun menengah yang harus dilakukan. Untuk jangka mendesak, pihaknya mendorong integrasi layanan angkutan umum di Jakarta semakin masif. Saat ini integrasi sudah dilakukan dan mencakup sembilan area yang mengcover 87 persen layanan menjangkau wilayah Jakarta. ”Kami juga mendorong elektrifikasi di sektor angkutan umum maupun kendaraan bermotor. Target kami tahun ini ada seratus unit bus listrik yang akan dioperasionalkan oleh Transjakarta,” jelas Syafrin.
Selain itu, lanjut dia, Pemprov DKI juga memberikan insentif bagi masyarakat yang membeli kendaraan listrik, DTNKB-nya nol rupiah. Kemudian, tidak memberikan disinsentif bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, khususnya saat parkir di sebelas titik parkir yang dikelola oleh Pemprov DKI melalui UP Perparkiran. ”Dengan adanya upaya tersebut diharapkan adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan perawatan secara berkala kendaraannya sehingga emisi yang dihasilkan tidak melampaui ambang batas yang ditetapkan sesuai ketentuan,” ucap Syafrin.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena menambahkan, pada saat musim kemarau kualitas udara biasanya memang cenderung naik seperti yang terjadi di Jakarta saat ini. ”Jadi, ini faktor yang juga mempengaruhi kondisi yang terjadi sekarang ini dan sebenarnya itu juga sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya,” terang Ardhasena.
Berdasar pemantauan yang dilakukan oleh BMKG, kemarau diprediksi akan terus terjadi sampai Oktober mendatang. Namun, pengaruhnya terhadap kualitas udara tidak bisa diprediksi. ”Kalau dampak kualitas udara ini mungkin nggak bisa diprediksi sejauh itu,” terang dia. Dia menegaskan, kekeringan bukan faktor utama turunnya kualitas udara. ”Kekeringan memperparah. Jadi, bukan sumbernya,” tambahnya.
Lantaran kering akibat musim kemarau, tidak terjadi hujan. Alhasil polutan bertahan di udara. ”Karena nggak ada hujan, polutannya nggak turun,” kata Ardhasena. Dengan kondisi saat ini, dia mengungkapkan, penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) agar hujan turun tidak memungkinkan untuk dilakukan. ”Karena sudah kering di atmosfer sudah nggak ada potensi awan (hujan) lagi,” imbuhnya.
Hal lainnya yang menarik dan perlu dicermati, lanjut Ardhasena, bahwa kondisi kualitas udara juga ada siklus hariannya. Di mana, pada saat lepas malam hingga dini hari atau pagi cenderung lebih tinggi dari pada siang hingga sore. Fenomena lainnya juga karena Jabodebek di wilayah urban, yang mana saat musim kemarau ada fenomena yang namanya lapisan inversi. ”Jadi, ketika pagi di bawah itu cenderung lebih dingin di permukaan dibandingkan di lapisan atas. Sehingga itu mencegah udara untuk naik dan terdispersi. Itu juga penjelasan mengapa di Jakarta kelihatan keruhnya di bawah dibandingkan di atas, karena setting perkotaan di mana kita hidup bersama,” beber dia. (gih/rya/syn/jp)