RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diharapkan akan meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan.

Ilustrasi kartu keanggotaan BPJS Kesehatan. ARSSI Minta Insentif untuk Bantu Wujudkan KRIS, Pemerintah Pastikan Perubahan Iuran dan Kelas BPJS Kesehatan Tidak Dalam Waktu Dekat. Foto-foto : Dokumentasi JawaPos.com
Yang dikhawatirkan adalah dengan penerapan KRIS iuran peserta BPJS Kesehatan.
Di sisi lain, asosiasi rumah sakit menginginkan agar penerapan KRIS juga dibarengi insentif agar iklim usaha tetap jalan.
Baca Juga : Asep Mulyadi Minta Pemerintah Tindak Tegas Bus Pariwisata Tanpa Izin
Pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 salah satunya mengatur terkait KRIS yang akan dilaksanakan paling lambat pada 1 Juli 2025 nanti.
Sebelum itu adalah masa transisi bagi pemerintah, BPJS Kesehatan, dan rumah sakit untuk menyesuaikan.
Untuk rumah sakit telah diatur bagaimana standar ruang perawatannya.
Baca Juga : Konferwil ke-3 AMSI Jawa Barat 2024, Memilih Pengurus Baru dan Diskusi Masa Depan Media Siber
Ada 12 kriteria yang ditetapkan.
Sekarang pemerintah sedang mendorong rumah sakit untuk berbenah sesuai standar KRIS.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril kemarin menyatakan tahun ini targetnya ada 2432 rumah sakit yang telah memenuhi standar KRIS.
“Sampai tanggal 30 April sudah mencapai 1053 rumah sakit,” tuturnya.
Dia menyatakan jika tujuan dari KRIS adalah ingin menjamin peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapat perlakuan yang baik.
KRIS telah mengatur sarana prasarana ruang rawat inap terstandar.
“Masih banyak rumah sakit yang menerapkan kelas 3nya dengan lima sampai delapan orang. Maka dengan KRIS maksimal hanya empat tempat tidur,” ujar Syahril.
Pria yang juga Direktur RSUP Fatmawati itu mengungkapkan rumah sakitnya sudah mengikuti uji coba KRIS.
Syahril menceritakan jika pada awalnya jumlah tempat tidur berkurang karena harus menyesuaikan aturan satu ruangan maksimal empat tempat tidur.
Namun agar tidak mengurangi jumlah tempat tidur, maka menejemen harus merombak ruangan yang tidak digunakan untuk dijadikan bangsal.
“Memang harus ada biaya yang dikeluarkan rumah sakit. Tapi ini konsekuensi bisnis,” tuturnya.
Pada kesempatan lain, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) dr Iing Ichsan Hanafi menyebut jika penerapan KRIS sudah digaungkan sejak 2022.
Dalam penyusunan aturan ini, ARSSI memang dilibatkan.
Lalu organisasi ini minta agar penerapan ditunda karena saat itu masih pandemi Covid-19.
“Sebenarnya syarat KRIS itu sudah digunakan saat kredensialing (asessment) yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan,” tuturnya.
Sehingga rumah sakit sudah mulai berbenah juga. Misalnya menyesuaikan jumlah tempat tidur dan ruang perawatan.
Dalam penerapan ini tidak dipungkiri bahwa rumah sakit harus mengeluarkan dana investasi yang besar.
Menurutnya, jika rumah sakit milik pemerintah seperti RSUD akan dibiayai perbaikannya oleh pemeritah.
Sementara rumah sakit swasta harus mencari dana sendiri.
“Rumah sakit swasta anggaran perbaikannya tidak ditanggung pemerintah,” tuturnya.
Dia berharap agar ada bantuan dari pemerintah. Ada berbagai cara untuk membantu, menurut Ichsan.
Salah satunya adalah dengan adanya insentif atau meringankan pajak.
Lalu dengan adanya syarat KRIS ini apakah lantas akan ada peleburan kelas perawatan pasien BPJS Kesehatan dan penyesuaian iuran? Kepala Pusat Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Irsan Moeis menjelaskan jika Perpres 59/2024 ini tidak ada amanat penyesuaian tarif.
“Amanatnya adalah diberlakukan masa transisi sampai 30 Juni 2025,” ungkapnya.
Memang dalam Pasal103B Ayat (8) disebutkan bahwa penetapan manfaat, tarif, dan iuran BPJS Kesehatan akan ditetapkan paling lambat 1 Juli 2025.
Dalam Perpres anyar ini, menurut Irsan, ada amanat kepada Kemenkes, BPJS Kesheatan, DJSN, dan Kementerian Keuangan untuk melakukan evaluasi.
Dari evaluasi ini akan dilihat penetapan tarif, manfaat, dan iurannya.
Pada kesempatan lain Ketua DJSN Agus Suprapto menyatakan untuk perhitungan iuran peserta BPJS Kesehatan akan terus dievaluasi. “Kita harus hitung aktuaria ya. Tergantung kebijakan presiden baru,” katanya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah kemarin menyatakan ada beberapa kriteria untuk mempengaruhi besaran iuran. Menurutnya ini hal yang complicated. Selain perhitungan aktuaria, kemampuan masyarakat menjadi pertimbangan juga. “Termasuk kenaikan tarif dan inflasi,” ucapnya. Sehingga sekarang tarif BPJS Kesehatan masih seperti aturan pada Perpres 64/2020. (Lyn/jp)