News

Pengadilan Putus Bersalah Produsen Obat Sirop Anak, Korban GGAPA hanya Dapat Santunan Rp 60 juta

Radar Bandung - 27/08/2024, 17:37 WIB
AH
AR Hidayat
Tim Redaksi
Ilustrasi

RADARBANDUNG.id – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah menetapkan PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical bersalah dalam kasus gagal ginjal akut pada anak (GGAPA). Selain itu mereka wajib membayar denda Rp 50 juta pada ahli waris anak dan Rp 60 juta pada anak yang sudah sembuh atau masih menjalani perawatan. Namun Kuasa Hukum Korban GGAPA Reza Zia Ulhaq menilai ini tidak belum adil.

Kemarin (26/8) Reza menyatakan putusan tersebut belum sesuai dengan keinginan para penggugat dan korban GGAPA. Dia menyebut ada beberapa persoalan yang menjadi kerisauan mereka.

Reza menyebut majelis hakim gagal dalam menerapkan hukum acara gugatan kelompok atau class action, putusan seharusnya berlaku dan mengikat terhadap seluruh korban GGAPA. Dia membeberkan menurut data yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan jumlah korban GGAPA mencapai 326 orang.

“Namun didalam Putusan Majelis Hakim menganulir fakta tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah korban yang disebutkan di dalam putusan hanya sebanyak 24 orang, yakni hanya para perwakilan kelompok yang menggugat,” ungkapnya.

Menurutnya jika mengacu kepada Perma Nomor 1 Tahun 2002 seharusnya putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim tersebut berlaku dan mengikat kepada seluruh korban GGAPA. Baik yang meninggal dunia maupun yang masih dirawat. Kecuali korban yang membuat pernyataan keluar dari gugatan kelompok.

Di dalam putusan 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst majelis hakim menggunakan istilah santunan terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical kepada para korban

“Istilah santunan tersebut tidak dikenal didalam doktrin maupun hukum acara gugatan Class Action,” katanya. JustruPeraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2002 menggunakan istilah ganti rugi.

“Sejak awal gugatan kami meminta adanya ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan kelalaian dan kelasahan yang dilakukan oleh penggugat,” katanya.

Menurut Reza ganti rugi bukanlah suatu tindakan kedermawanan melainkan upaya paksa terakhir karena tidak ada pengakuan kekalalaian dalam melakukan produksi dan distribusi obat.

“Sehingga kami menilai penggunaan istilah santunan oleh majelis hakim tidak sesuai dengan hukum acara dan tidak memiliki keberpihakan terhadap korban,” imbuhnya.

Majelis hakim memutuskan untuk memberikan ganti rugi sebesar Rp. 50 juta bagi ahli waris yang meninggal dunia dan Rp. 60 juta bagi korban yang telah sembuh atau masih menjalani pengobatan. Jumlah ini dinilai kurang.

“Hal ini tentunya merupakan suatu penghinaan bagi korban GGAPA, perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan selama kurang lebih dua tahun belakangan hanya dinilai dengan nominal yang tidak seberapa,” ujarnya.

Reza menuding putusan ini menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara hanya sekadar formalitas.

Dia juga menyayangkan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak dinyatakan bersalah.

“Padahal secara terang benderang dalam fakta persidangan Kemenkes dan BPOM tidak memiliki standar yang mumpuni dan layak terkait dengan pengawasan terhadap produksi dan peredaran obat-obatan,” ucapnya.

Padahal, menurut Reza, tersebut sebenarnya sudah menjadi salah satu pembahasan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kediri yang juga menangani perkara pidana terkait dengan GGAPA. (lyn)