RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Insiden kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng wajah demokrasi di Indonesia. Kali ini, Faqih Rohman Syafei, seorang wartawan Kompas.com, diduga menjadi korban penganiayaan saat tengah menjalankan tugas jurnalistiknya. Peristiwa tersebut terjadi Jumat malam (21/3/2025) di depan Gedung DPRD Jawa Barat, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, ketika Faqih Rohman Syafei tengah meliput aksi demonstrasi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.
Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah hal sepele. Ini bukan sekadar serangan fisik terhadap individu, melainkan juga ancaman terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang. Kasus yang menimpa Faqih menjadi bukti profesi jurnalis di Indonesia masih dihadapkan pada risiko kekerasan dan intimidasi.
Tak ingin insiden ini berlalu tanpa kejelasan, Faqih, dengan didampingi sejumlah rekan jurnalis, mengambil langkah hukum dengan melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Bandung, Sabtu (22/3/2025). Laporan resmi ini teregister dengan nomor LP/B/423/III/2025/SPKT/POLRESTABES BANDUNG/POLDA JAWA BARAT, yang dibuat tepat pukul 14.15 WIB.
Langkah ini bukan hanya untuk mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi juga untuk menegaskan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis harus mendapat perhatian serius. Jika kekerasan terhadap wartawan terus dibiarkan tanpa tindakan hukum yang tegas, maka bukan tidak mungkin hal serupa akan terulang dan semakin mengancam kebebasan pers di tanah air.
Menanggapi kejadian ini, Pimpinan Redaksi Kompas.com, Amir Sodikin, menyampaikan kecaman keras terhadap aksi kekerasan yang menimpa Faqih. Amir Sodikin menegaskan tuduhan yang dilontarkan oleh massa aksi, yang menyebut Faqih sebagai intel, tidak memiliki dasar yang jelas.
“Faqih telah menunjukkan kartu persnya sebagai bukti Faqih adalah wartawan yang sedang bertugas. Namun, meskipun identitasnya sudah jelas, Faqih tetap menjadi sasaran kekerasan. Ini adalah tindakan yang sangat tidak dapat dibenarkan,” ujar Amir dalam keterangannya yang diterima, Minggu (23/3/2025).
Menurut Amir, kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen. Pers memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi, dan segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis adalah ancaman terhadap kebebasan berekspresi serta hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Lebih lanjut, Amir menegaskan kebebasan pers adalah hak fundamental yang telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh karena itu, segala bentuk serangan terhadap jurnalis harus ditindak secara hukum agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Faqih menceritakan kejadian tersebut bermula saat ia tengah mengambil video dokumentasi aksi demonstrasi. Saat itulah, tiba-tiba beberapa orang dari kerumunan massa meneriakinya dengan tuduhan yang mengejutkan.
“Lagi ambil video di dekat massa, tiba-tiba ada yang teriak, awas, awas, itu yang gendut intel, itu pakai baju putih,” ungkap Faqih saat memberikan keterangan kepada awak media setelah insiden tersebut.
Menanggapi situasi yang semakin memanas, Faqih langsung berusaha menjelaskan ia adalah seorang jurnalis dengan menunjukkan kartu persnya. Namun, langkah tersebut tidak cukup untuk meredam amarah massa. Sejumlah orang tetap berusaha menyerangnya secara fisik.
Faqih mengaku mendapat pukulan di kepala sebanyak dua kali, tendangan di bagian belakang tubuhnya dua hingga tiga kali, serta beberapa kali ditarik-tarik oleh massa yang mencurigainya.
“Tapi tetap saja ada massa yang terus mukulin,” ujar Faqih.
Di tengah situasi yang semakin kacau, beruntung ada beberapa demonstran lain yang berusaha melindungi dan mengamankannya ke tempat yang lebih aman.
“Saya berterima kasih kepada mereka yang sudah berusaha menyelamatkan saya di tengah kepanikan itu,” tambah Faqih.
Pasca kejadian, Faqih segera menjalani pemeriksaan di Polrestabes Bandung dan menyelesaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain itu, untuk memastikan dampak kekerasan yang dialaminya, ia juga menjalani visum di RS Sartika Asih, Kota Bandung.
Insiden ini menjadi cerminan jurnalis di Indonesia masih menghadapi berbagai bentuk ancaman saat menjalankan tugasnya. Jika tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang, maka kekerasan terhadap jurnalis bisa terus terjadi dan bahkan menjadi hal yang dianggap wajar.
Penting untuk diingat kebebasan pers bukan hanya hak para jurnalis, tetapi juga hak seluruh masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, transparan, dan berimbang. Jika pers tidak lagi bebas, maka demokrasi juga dalam bahaya. Oleh karena itu, semua pihak, terutama aparat penegak hukum, harus bertindak cepat dan tegas dalam menangani kasus ini agar kebebasan pers tetap terjaga di Indonesia.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki peran yang sangat krusial dalam menyampaikan informasi kepada publik. Insiden seperti yang dialami oleh Faqih seharusnya tidak boleh terjadi dalam negara demokratis.
Pimpinan Redaksi Kompas.com, Amir Sodikin kembali menegaskan pers adalah mitra dalam membangun bangsa dan demokrasi. Oleh karena itu, Amir mendorong aparat kepolisian untuk mengusut tuntas insiden ini serta memberikan perlindungan lebih kepada para jurnalis yang sedang bertugas di lapangan.
“Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Faqih, mulai dari massa aksi yang berusaha melindunginya, rekan-rekan wartawan, pihak kepolisian yang melakukan pengamanan, hingga restoran tempat Faqih berlindung sementara,” ujar Amir.
Amir menambahkan kasus ini menjadi pengingat tanpa pers yang bebas dan independen, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Setiap tindakan kekerasan terhadap jurnalis harus mendapat perhatian serius dan tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Jika negara ini ingin terus berkembang sebagai demokrasi yang sehat, maka kebebasan pers harus dijaga dan dihormati oleh semua pihak.(dsn)
Live Update
- Insiden Kekerasan Terhadap Jurnalis Saat Meliput Aksi, Kebebasan Pers dalam Ancaman 1 bulan yang lalu