News

Tradisi Tahunan Fenomena Penukaran Uang Lebaran

Radar Bandung - 23/03/2025, 23:03 WIB
DS
Diwan Sapta
Tim Redaksi
Ilustrasi. Lembaran uang rupiah dalam pecahan nominal berbeda-beda. (Foto. JawaPos)

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Jelang Idulfitri fenomena penukaran uang baru oleh masyarakat selalu terjadi. Praktisi hukum, Arief Budiman menyoroti fenomena ini bukan hanya terjadi di Bandung, tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, bahkan di seluruh Indonesia. Tradisi ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat yang ingin memberikan uang baru sebagai bentuk tunjangan hari raya (THR) kepada keluarga, terutama anak-anak, sebagai simbol kebahagiaan dan berbagi rezeki.

“Fenomena ini terjadi setiap tahun, bisa dibilang sudah menjadi budaya. Tidak hanya di Bandung, tetapi juga di berbagai daerah lain. Dari sisi positif, penukaran uang baru dapat dianggap sebagai bagian dari tradisi berbagi yang baik untuk keluarga dan dapat menjadi contoh tauladan,” ujar Arief saat dihubungi pada Minggu (23/3/2025).

Arief menambahkan di balik euforia masyarakat dalam menukarkan uang baru, ada aspek lain yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan praktik pemotongan nilai uang oleh jasa penukaran yang tidak resmi. Dalam praktiknya, masyarakat kerap dikenakan biaya tambahan atau pemotongan tertentu saat menukar uang di luar lembaga resmi seperti Bank Indonesia atau perbankan yang ditunjuk.

Arief mengungkapkan salah satu hal yang menjadi sorotan dalam praktik penukaran uang di luar lembaga resmi adalah pemotongan nilai uang sebagai biaya jasa. Arief menegaskan praktik pemotongan ini sebenarnya kembali lagi kepada kesepakatan antara pihak penyedia jasa penukaran dan masyarakat yang menggunakan layanan tersebut.

“Pemotongan ini sebenarnya kembali ke masyarakat. Kalau tidak mau dipotong, ya jangan menukar di tempat seperti itu. Harus ada kesepakatan yang jelas antara kedua belah pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan,” tegasnya.

Menurutnya, secara aturan memang tidak ada regulasi yang mengatur secara spesifik mengenai pemotongan dalam jasa penukaran uang di luar bank. Dalam peraturan yang ada, hanya disebutkan penukaran uang seharusnya dilakukan di lembaga resmi seperti Bank Indonesia atau bank-bank yang telah ditunjuk.

“Kalau berdasarkan regulasi, pemotongan uang dalam jasa penukaran di luar lembaga resmi tidak diatur secara hukum. Namun, jika masyarakat ingin menukar tanpa adanya potongan, mereka bisa langsung menukar di Bank Indonesia, di mana prosesnya lebih transparan dan tidak ada biaya tambahan,” tambah Arief.

Arief mengungkapkan meningkatnya fenomena penukaran uang baru setiap tahun menunjukkan masih ada celah dalam sistem yang belum diakomodasi dengan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia. Arief menilai seharusnya ada regulasi yang lebih jelas mengenai mekanisme penukaran uang baru agar masyarakat tidak mengalami kesulitan atau harus membayar biaya tambahan di tempat-tempat yang tidak resmi.

“Fenomena ini menunjukkan masyarakat memiliki kebutuhan yang belum sepenuhnya terwadahi oleh pemerintah atau Bank Indonesia. Harus ada regulasi yang jelas, baik dari BI, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kota, tentang bagaimana cara menukarkan uang baru dengan mudah, aman, dan nyaman,” ungkapnya.

Sebagai contoh, Arief membandingkan fenomena ini dengan tradisi kartu lebaran yang dulu sempat marak. Pada masa lalu, kartu lebaran memiliki sistem distribusi yang jelas melalui layanan pos. Hal ini menunjukkan ketika suatu budaya atau kebiasaan masyarakat mulai berkembang luas, maka perlu adanya wadah atau sistem yang mengakomodasi kebutuhan tersebut agar lebih terorganisir dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

“Kalau dulu, kartu lebaran ada sistemnya. Orang bisa mengirim lewat pos dengan mekanisme yang jelas. Nah, penukaran uang baru ini kan seharusnya juga ada wadah resminya, yaitu melalui Bank Indonesia. BI harus memastikan distribusi uang baru ke tiap bank agar masyarakat bisa menukar dengan nyaman tanpa kesulitan,” jelasnya.

Arief menambahkan selain persoalan pemotongan nilai uang, hal lain yang harus diwaspadai oleh masyarakat adalah kemungkinan peredaran uang palsu yang sering meningkat menjelang Lebaran. Kejahatan ini sering kali memanfaatkan antusiasme masyarakat dalam menukar uang baru, terutama jika dilakukan di tempat-tempat yang tidak resmi.

Arief menjelaskan salah satu modus yang kerap terjadi adalah pencampuran uang palsu dengan uang asli dalam transaksi penukaran. Hal ini tentu merugikan masyarakat yang tidak teliti dalam memeriksa keaslian uang yang diterima. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dan sebisa mungkin menukar uang di tempat resmi seperti Bank Indonesia atau bank yang telah ditunjuk.

“Setiap tahun, salah satu kejahatan yang meningkat menjelang Lebaran adalah peredaran uang palsu. Jika masyarakat tidak teliti, mereka bisa menjadi korban modus ini saat menukar uang di tempat yang tidak resmi. Oleh sebab itu, sebaiknya masyarakat menukar langsung di BI atau bank agar lebih aman,” jelas Arief.

Menurutnya regulasi yang ada, Bank Indonesia sebenarnya telah memiliki aturan mengenai mekanisme penukaran uang. Pasal 23 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 21/2019 menyatakan layanan penukaran uang rupiah dilakukan untuk penukaran uang dalam pecahan yang sama atau pecahan lain, serta penggantian uang rupiah yang tidak layak edar.

Arief menambahkan sementara itu, Pasal 4 Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 19/2017 menyebutkan pelaksanaan penukaran uang rupiah dilakukan di kantor dan/atau di luar kantor Bank Indonesia, serta di kantor dan/atau luar kantor pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia. Artinya, sebenarnya mekanisme resmi sudah ada, namun implementasi di lapangan masih belum sepenuhnya menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan.

Arief menjelaskan dari berbagai aspek yang telah dibahas, fenomena penukaran uang baru menjelang Lebaran bukan sekadar tradisi, tetapi juga mencerminkan adanya kebutuhan nyata dari masyarakat yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret agar praktik ini dapat dilakukan dengan lebih aman dan terorganisir.

Menurutnya beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain memperluas jaringan penukaran uang baru ke bank-bank daerah hingga tingkat kecamatan, menyediakan layanan penukaran uang keliling oleh BI dengan jumlah yang lebih banyak, serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai cara menukar uang dengan aman dan bebas dari biaya tambahan yang tidak wajar.

“Negara harus hadir dalam fenomena ini. Bank Indonesia harus mengeluarkan kebijakan yang lebih jelas tentang bagaimana masyarakat bisa menukar uang baru dengan mudah dan nyaman. Jangan sampai kebutuhan masyarakat ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan pribadi,” tegas Arief.

Arief menambahkan adanya regulasi yang jelas, masyarakat tidak perlu lagi bergantung pada jasa penukaran uang yang tidak resmi, sehingga praktik pemotongan nilai uang dan risiko peredaran uang palsu dapat diminimalisir. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bekerja sama dalam menciptakan sistem yang lebih baik agar tradisi tahunan ini bisa berjalan lebih lancar tanpa merugikan masyarakat.

“Penukaran uang menjelang Lebaran sudah menjadi budaya. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan budaya ini diwadahi dengan baik oleh negara agar masyarakat tidak dirugikan,” pungkas Arief.(dsn)

Live Update