RADARBANDUNG.id – Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) tengah melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Kabupaten Indramayu tahun anggaran 2022.
Penyelidikan ini dilakukan oleh Bidang Pidana Khusus Kejati Jabar, menyusul temuan dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Indramayu.
“Betul, kami sedang melakukan pemeriksaan terkait dugaan penyimpangan dalam pemberian tunjangan perumahan DPRD Indramayu,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar, Nur Sricahyawijaya, Rabu, 14 Mei 2025.
Ia menyebutkan bahwa tim penyidik saat ini masih mengumpulkan data dan dokumen berdasarkan laporan pengaduan yang diterima. Sejumlah pihak pun telah dipanggil untuk memberikan keterangan.
“Informasinya sudah ada enam orang saksi yang diperiksa. Namun identitas mereka belum bisa kami sampaikan,” imbuhnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ditemukan kejanggalan dalam proses pemberian tunjangan perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD Indramayu.
BPK menilai perhitungan tunjangan tersebut tidak sesuai ketentuan perundang-undangan, tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dan tidak mencerminkan prinsip akuntabilitas serta kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara.
Gerakan Pemuda Peduli Perubahan Indramayu (PPPI) menyebutkan bahwa total belanja untuk tunjangan perumahan anggota DPRD pada tahun 2022 mencapai sekitar Rp16,8 miliar.
Rinciannya, Ketua DPRD menerima Rp40 juta per bulan, Wakil Ketua Rp35 juta, dan anggota dewan Rp30 juta per bulan. Jika ditambah dengan gaji, tunjangan transportasi, serta dana reses, maka pendapatan rata-rata anggota DPRD diperkirakan mencapai Rp60 juta hingga Rp80 juta per bulan atau sekitar Rp700 juta hingga Rp1 miliar per tahun.
“Dengan penghasilan sebesar itu, anggota dewan bahkan bisa membeli rumah mewah setiap tahun di kawasan elit seperti Pesona Estate,” kata perwakilan PPPI.
Menurut PPPI, pengeluaran untuk tunjangan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Dalam laporan yang disampaikan ke Kejati Jabar, PPPI menyoroti beberapa dugaan pelanggaran, termasuk penggunaan dasar hukum yang tidak sah, penghitungan oleh tim internal tanpa legalitas sebagai Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), serta ketiadaan survei harga sewa rumah yang obyektif di wilayah setempat.
Selain itu, tim penilai dianggap tidak memiliki kompetensi maupun kewenangan profesional dalam menentukan standar biaya tunjangan rumah pejabat publik.
PPPI juga menuding adanya indikasi pelanggaran sejumlah pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan KUHP terkait penggunaan dokumen palsu dalam proses pencairan anggaran negara. (dbs)