RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – DPR mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan keamanan pangan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk mencegah kasus keracunan.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengikuti Rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Foto : Dery Ridwansah/ JawaPos.com. Sementara itu foto atas, sejumlah petugas Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) Palmerah menyiapkan menu Makanan Bergizi Gratis di SPPG Palmerah, Slipi, Jakarta, Senin (06/01/2025). FOTO: HANUNG HAMBARA/JAWA POS
Salah satu caranya dengan meningkatkan peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Anggota Komisi IX DPR RI Zainul Munasichin mengatakan, pengawasan makanan pada MBG harus ditingkatkan. Menurut dia, pemerintah memiliki instrumen pengawasan yang lengkap. Salah satunya BPOM.
Menurut Zainul, pelibatan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dalam program MBG dirasa masih kurang.
BPOM harus ikut membantu pelaksanaan MBG. Lembaga itu dapat berfungsi mendeteksi makanan untuk menghindari potensi keracunan.
”Apakah pelatihan SPPI sudah cukup? Jika belum, mungkinkah menempatkan petugas BPOM di setiap Satuan Pelayanan Penambahan Gizi (SPPG)?” ujarnya saat mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) bersama Badan Gizi Nasional (BGN) dan BPOM di gedung DPR, kemarin (21/5)..
Kepala BGN Dadan Hindayana mengungkapkan, MBG telah menjangkau 3,9 juta penerima manfaat, terdiri dari siswa, ibu hamil dan menyusui, serta balita. Minggu depan, rencananya akan ditambah 294 SPPG. Sehingga dapat menjangkau hingga 882 ribu penerima tambahan.
Menurut data BPOM, hingga kini sudah ada 17 Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu penyebab utamanya adalah keracunan makanan. Sebagai solusinya, BGN menetapkan standar komposisi gizi. ”Setiap bulan pasti dicek oleh Dinas Ketahanan Pangan,” ucap Dadan.
BGN, kata Dadan, juga telah menyusun 10 standar operasional prosedur (SOP). Itu mencakup sanitasi fasilitas dan ruangan, persiapan bahan pangan, hingga penanganan jika terjadi keracunan.
SPPG telah memiliki standar teknis, mulai dari alur memasak, standar lantai dapur, hingga penggunaan alat masak berbahan stainless steel.
”SPPG dirancang semi-industri. Di lapangan, ada mitra yang masih seperti katering rumahan, sehingga perlu kami tingkatkan,” ujarnya.
Evaluasi
BGN mengevaluasi setiap insiden keracunan untuk mencegah kejadian serupa kembali terulang.
Salah satu langkahnya memperketat pemilihan bahan baku dan memperbaiki protokol keamanan dalam pengiriman makanan kepada penerima manfaat. BGN juga menerapkan uji organoleptik, yaitu uji tampilan, aroma, rasa, dan tekstur.
”Dari beberapa kasus, keracunan terjadi pada SPPG yang sudah beroperasi selama tiga hingga empat bulan. Kami simpulkan ada faktor kebiasaan yang berubah, sehingga setiap dua bulan kami adakan pelatihan untuk penjamah makanan,” jelas Dadan.
Dalam pelaksanaan MBG, BGN melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Salah satunya BPOM yang rutin melakukan inspeksi ke SPPG dan melatih penjamah makanan.
Selain itu, pemerintah tengah merumuskan Peraturan Presiden guna memperkuat jaminan keamanan makanan.
Dadan mengusulkan agar anggaran BPOM ditingkatkan guna memperbanyak frekuensi kunjungan ke SPPG.
“Kami mendorong agar setiap SPPG yang akan berdiri diwajibkan menjalani inspeksi BPOM,” katanya.
Kepala BPOM Taruna Ikrar berkomitmen mendukung keberhasilan MBG. Dia mengakui, dalam upaya pemenuhan gizi, risiko kontaminasi bahan baku tetap ada. Karena itu, pengawasan keamanan pangan dari hulu ke hilir harus diperkuat.
Menurut Taruna, BPOM terlibat dalam pelatihan SPPI dengan total 16 jam pembelajaran mengenai keamanan pangan. Selain itu, ada pelatihan khusus bagi penjamah makanan di SPPG.
”Kami mengusulkan penambahan durasi pelatihan dari 3 jam menjadi lebih panjang. Serta penambahan materi tentang Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB),” ujarnya. (lyn/aph/jawa pos)