RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Di balik warung-warung kecil yang tersebar di sudut-sudut Kota Bandung, terselip praktik ilegal yang kian meresahkan, peredaran rokok tanpa cukai. Bahkan, sebagian di antaranya diketahui berbahan dasar tak lazim seperti daun talas. Fenomena ini tak lagi dianggap sepele. Pemerintah Kota Bandung menyatakan perang terbuka terhadap peredaran rokok ilegal yang dianggap tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membahayakan kesehatan publik.
Sekretaris Satpol PP Kota Bandung, Idris Kuswandi mengungkapkan selama dua tahun terakhir, Satpol PP Kota Bandung mencatat telah menyita dan memusnahkan sedikitnya 28 juta batang rokok ilegal. Jumlah yang fantastis ini diperoleh dari berbagai operasi gabungan bersama Bea Cukai yang secara berkala digelar di titik-titik rawan.
“Ini bukan sekadar angka. Ini adalah bentuk nyata dari komitmen kami dalam menjaga Bandung dari ancaman rokok ilegal yang merusak,” tegas Idris Kuswandi saat diwawancarai, di Balai Kota Bandung, Rabu (11/6/2025).
Idris mengungkapkan operasi penindakan tak hanya menyasar toko-toko kecil di wilayah perbatasan kota seperti timur, utara, dan selatan, tetapi juga menjangkau jalur logistik. Salah satu temuan paling mengejutkan adalah keberadaan gudang ekspedisi di kawasan Pelana dan Cicadas yang diduga menjadi tempat transit sebelum rokok ilegal dikirim keluar kota menggunakan bus malam.
“Jadi bukan hanya dijual di warung pinggir jalan. Ada sistem distribusi yang rapi, dan itu sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Lebih mengejutkan lagi, ia menambahkan sebagian rokok yang diamankan ternyata mengandung bahan baku yang sama sekali tidak layak konsumsi.
“Kami menemukan rokok berbahan dasar daun talas. Bayangkan, daun talas dijadikan rokok,” tambah Idris.
Lebih lanjut, Idris menjelaskan, menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, rokok-rokok ilegal tersebut tidak hanya diproduksi secara sembunyi-sembunyi, tetapi juga tidak melalui proses uji kesehatan apapun. Tak heran jika risiko kesehatan yang mengintai sangat tinggi, mulai dari gangguan pernapasan hingga zat-zat kimia berbahaya yang masuk ke tubuh tanpa disadari.
Meski begitu, menurutnya, harga yang murah tetap membuat produk ini menggoda banyak kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Harga satu bungkus rokok ilegal disebut-sebut bisa semurah Rp9.000, jauh di bawah harga pasaran rokok resmi.
“Ini menjadi dilema. Di satu sisi masyarakat mencari harga murah, tapi di sisi lain mereka mempertaruhkan kesehatannya sendiri dan orang-orang terdekat,” jelas Idris.
Parahnya lagi, ia mengungkapkan banyak dari rokok ilegal itu dikemas menyerupai merek-merek ternama. Tampilan luarnya dibuat seprofesional mungkin agar tak mudah dikenali. Modus seperti ini, menurut Satpol PP, membuat masyarakat awam kesulitan membedakan mana rokok asli dan mana yang palsu.
Namun, menurutnya, ada satu ciri khas yang kerap menjadi petunjuk, harga yang terlalu murah. Jika menemukan rokok dengan harga jauh di bawah pasar, besar kemungkinan itu adalah produk ilegal.
Idris menambahkan Pemkot Bandung bersama instansi terkait berkomitmen untuk terus bergerak. Operasi rutin akan digelar tanpa henti, dengan cakupan wilayah yang makin luas. Bukan hanya sebagai penegakan hukum, tetapi juga sebagai langkah perlindungan konsumen dan edukasi masyarakat.
“Beli rokok ilegal bukan hanya persoalan hukum, tapi juga soal keselamatan. Kita harus sadar harga murah bisa jadi mahal ketika berbicara soal nyawa,” ujar Idris.
Idris mengajak seluruh warga Kota Bandung untuk bersikap bijak.
“Mari kita lawan bersama peredaran rokok ilegal. Jangan tergoda harga murah yang bisa merenggut kesehatan dan merugikan negara. Ini demi kita semua,” pungkasnya.(dsn)