RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran, Kota Bandung, kini menghadapi krisis ganda, keterbatasan ruang belajar yang memprihatinkan dan pengosongan sepihak asrama putri oleh pihak Pusat Pelayanan Sosial Ganda Hidra Dharma (PPSGHD). Kondisi ini memunculkan kekhawatiran serius terhadap kelangsungan pendidikan 116 siswa berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.
Pantauan di lokasi, Rabu (23/7/2025), ruang kelas yang tersedia sangat jauh dari kata laik. Beberapa ruang kesenian, perpustakaan, hingga ruangan yang disekat pakai lemari dan papan kayu terpaksa digunakan sebagai kelas. Suasana belajar pun tidak kondusif karena suara antar guru dari ruang yang hanya dibatasi tipis kerap saling bersahutan, mengganggu fokus siswa yang sebagian besar mengandalkan indra pendengaran sebagai orientasi utama.
“Anak-anak kami kan berkebutuhan khusus, mereka terganggu penglihatan. Jadi saat satu ruangan diisi dua guru, otomatis konsentrasi mereka pecah. Ini berdampak langsung ke kualitas belajar,” ungkap Ketua Komite Sekolah, Dadang Ginanjar.
Dadang menambahkan, sebelumnya siswa sempat direlokasi ke SLB Cicendo karena SLBN A Pajajaran akan direnovasi. Namun setelah renovasi rampung dan siswa kembali, jumlah ruang belajar justru menyusut drastis. Dari semula 37 ruang, kini hanya tersedia 12 ruang untuk menampung siswa dari empat jenjang, TK, SD, SMP, dan SMA.
“Yang tersedia hanya dua gedung, C dan B. Gedung E yang baru malah digunakan untuk kantor kepala sekolah. Kami merasa ruang anak-anak terus menyusut. Awalnya ada delapan gedung, sekarang tinggal tiga, bahkan yang bisa dipakai cuma dua,” jelasnya.
Masalah lain yang mencuat adalah pengosongan mendadak asrama putri yang terjadi di hari yang sama. Dua siswi tunanetra yang tinggal di asrama mendadak harus mengemasi barang-barangnya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Gembok kamar dibobol paksa oleh pihak yang disebut berasal dari PPSGHD, dan barang-barang penghuni digantikan oleh milik pihak lain tanpa seizin pembimbing maupun pihak sekolah.
“Saya ditelepon pas lagi di sekolah. Katanya asrama harus dikosongkan hari itu juga. Tapi saat saya sampai, barang sudah dikeluarin, gembok kamar saya dibongkar. Anak-anak syok. Mereka bilang, Bu, kirain mau jalan-jalan, kok malah diusir,” ujar pembimbing asrama putri SLBN A Pajajaran, Anggita Pratiwi.
Dampak dari pengosongan itu dirasakan langsung oleh siswa. Selain tekanan psikologis, siswi yang terdampak kini kehilangan akses antar-jemput sekolah yang sebelumnya difasilitasi melalui asrama. Apalagi sebagian besar siswa berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi dan akses transportasi.
“Kalau tidak tinggal di asrama, belum tentu mereka bisa ke sekolah setiap hari. Ini mengancam kelangsungan pendidikan mereka,” tegas Anggita.
Dadang Ginanjar menilai, pengurangan fasilitas dan pengosongan asrama yang dilakukan secara tiba-tiba ini bisa dianggap sebagai bentuk pengusiran secara halus. Ia juga menyoroti persoalan legalitas lahan yang hingga kini masih berada di bawah Kementerian Sosial. Tanpa status kepemilikan yang sah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak bisa melakukan pembangunan sekolah secara maksimal.
“Kami sudah dapat informasi Disdik Jabar akan membangun kembali ruang kelas melalui anggaran perubahan tahun depan. Tapi semuanya tergantung status tanah. Kalau belum dihibahkan ke provinsi, maka pembangunan tidak bisa dilakukan,” jelas Dadang.(dsn)