News

Kebijakan Pencegahan Anak Putus Sekolah Berjalan, Bagaimana Nasib Sekolah Swasta

Radar Bandung - 11/08/2025, 12:08 WIB
DS
Diwan Sapta
Tim Redaksi
Suasana di lingkungan sekolah jenjang menengah atas swasta Kota Bandung. (Fauziah Herlina Azhar.mg3/Radar Bandung)

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Penambahan jalur baru pada penerimaan SMA tahun 2025 di Jawa Barat berupa jalur PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah). Kebijakan PAPS dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) guna memastikan anak dari keluarga tidak mampu dapat melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA.

Sebulan lebih kebijakan ini berjalan, telah menimbulkan berbagai pro dan kontra. Salah satunya berupa berkurangnya jumlah siswa di sekolah swasta yang dapat mengancam kesejahteraan guru.

Pihak sekolah swasta merasa keberatan dengan kebijakan ini. Ketua Forum Komunikasi Sekolah Swasta (FKSS) Jawa Barat, Ade D Hendriana mengatakan pihaknya telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) pada 31 Juli kemarin karena tidak ada tindak lanjut dari gubernur beserta jajarannya terkait keberatan yang telah disuarakan oleh sekolah swasta.

“Gugatan ini karena adanya keputusan Gubernur terkait dengan petunjuk teknis PAPS. Kita tahu itu adalah gagasan bagus untuk progresi Jawa Barat, tetapi ketika membuat suatu keputusan, Gubernur harusnya melibatkan semua ekosistem pendidikan yang ada di Jawa Barat, baik itu sekolah negeri maupun sekolah swasta. Maka kita kemarin dianggap tidak dilibatkan karena dalam PAPS itu tidak mencantumkan sekolah swasta,” ujar Ade Hendriana saat ditemui langsung, Jumat (8/8/2025).

Ade yang juga kepala sekolah SMA swasta Guna Dharma Kota Bandung menyebutkan dari tahun ke tahun memang sudah terjadi penurunan jumlah siswa di sekolah swasta karena adanya sistem zonasi dan sekolah penyangga, namun penurunan sangat signifikan terjadi setelah kebijakan PAPS dikeluarkan.

Wakasek bidang kurikulum SMA Guna Dharma, Tuti Artiyanti menambahkan pada tahun ini hanya menerima satu rombel dimana di tahun-tahun sebelumnya bisa 2-3 rombongan belajar (rombel).

“Biasanya dapat 100 siswa tapi tahun ini cuman menerima satu rombel berjumlah 30 siswa. Anehnya kebijakan PAPS ini, seperti mengambil alih siswa yang sudah mendaftar ke swasta untuk masuk ke sekolah negeri,” ungkap Tuti.

Hal yang sama turut terjadi di SMA Pendidikan Membangun Bangsa (PMB) Kota Bandung.

Ketua Dewan Guru dan Guru PPKN, Rizky Saeful mengatakan kebijakan PAPS ini berdampak secara kuantitas dimana tahun ini hanya menerima 1 rombel berisi 28 siswa.

“Biasanya 1 jenjang ada 3 kelas. Misalnya kelas 10 ada 1 kelas IPA dan 2 kelas IPS. Nah tahun ini ada 28 murid dimana 6 siswa di kelas IPA dan sisanya di kelas IPS,” ungkap Rizky Saeful saat ditemui langsung, Kamis (7/8/2025).

Menurutnya, kebijakan PAPS yang dikeluarkan oleh KDM ini kurang ramah untuk semua meskipun dari perspektif pendidik, sekolah dimanapun tetap sama. Baginya kebijakan ini bagus untuk pemenuhan kualitas pendidikan namun kurang elok untuk pemerataan pendidikan.

Pentingnya menjaga rombel selain untuk keberlangsungan sekolah swasta adalah untuk memenuhi minimal beban kerja guru swasta.

“Jadi mungkin sama dengan kebanyakan sekolah-sekolah swasta lain. Menjaga rombel itu sebetulnya untuk pendidik. Ada beban jam pelajaran yang harus dipenuhi. Kalau guru swasta berbeda dengan guru pegawai negeri, kita dapat tunjangan sertifikasi kalau sudah sertifikasi. Syarat dapat tunjangan sertifikasi itu beban mengajar harus memenuhi 24 jam pelajaran,” ujar Rizky.

Sependapat dengan pernyataan Rizky, Kepala Sekolah SMA Guna Dharma, Ade Hendriana mengatakan dampak berkurangnya siswa berimbas pada jumlah jam mengajar guru.

“Ketika jumlah jam guru itu berkurang, tentunya dampaknya adalah, honorarium akan berkurang, kemudian bagi guru-guru yang bersertifikasi, tentunya kekurangan jam, mereka harus mencari sekolah lain untuk peningkat jamnya,” ujar Ade.

Bagi Rizky, ini bukan bicara soal finansial, tapi tentang penghargaan kepada guru. Lebih lanjut, walaupun kebijakan PAPS itu untuk mencegah angka putus sekolah dengan menaikkan jumlah rombel, jika dilihat secara holistik ini kurang tepat.

“Apalagi di Indonesia pendidikan itu ada negeri, ada swasta. Karena walaupun negeri dan swasta, guru tetaplah guru yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Sekolah swasta walau bukan milik pemerintah merupakan wadah kehidupan yang mesti dilindungi baik oleh pemerintah daerah maupun pusat,” tambah Rizky.(dsn/mg2)