News

Penambahan Rombel Buka Akses Pendidikan, Sekolah Hadapi Lonjakan Siswa

Radar Bandung - 11/08/2025, 11:05 WIB
DS
Diwan Sapta
Tim Redaksi
Suasana Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah jenjang Sekolah Menengah Atas Kota Bandung. (Fauziah Herlina Azhar.mg3/Radar Bandung)

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk menambah kuota rombongan belajar (rombel) membuka gerbang pendidikan lebih lebar bagi siswa yang rawan putus sekolah. Namun, disisi lain memicu lonjakan peserta didik di sejumlah sekolah.

Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Hubungan Masyarakat di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bandung, Kardiana menjelaskan jumlah siswa baru tahun ini meningkat signifikan dari 396 menjadi 485 orang. Akibatnya, setiap kelas kini diisi oleh 44 siswa, jauh di atas anjuran pemerintah pusat sebelumnya yang menetapkan maksimal 36 siswa.

“Sebelumnya 396, karena dari pemerintah (pusat) menyarankan maksimal di kelas itu 36. Karena kalau dipaksakan kasihan sebenarnya jadi belajar berdesakan, kan kurang nyaman,” ujar Kardiana di SMAN 1 Bandung Kamis (7/8/2025).

Situasi serupa juga dihadapi SMAN 7 dan SMAN 20 Bandung. SMAN 7 kini menampung rata-rata 39 siswa per kelas, sementara SMAN 20 menyesuaikan hingga 42 siswa per kelas.

“Idealnya kan 36. Ketika anak jumlahnya lebih banyak, itu mungkin butuh effort lebih dari kita sebagai guru di lapangan untuk bisa menyesuaikan,” ungkap Wakasek Kesiswaan SMAN 20, Pipih Nurhidayanti.

Meskipun ruang geraknya menjadi terbatas, para siswa tampaknya dapat beradaptasi. Namun, permintaan siswa untuk fasilitas penunjang seperti AC mulai terdengar untuk mengatasi hawa panas di kelas yang lebih padat agar mendukung proses belajar berjalan seperti biasa.

“Kemudian juga memang anak-anak kan dengan kondisi ruang kelas sedikit panas, mereka pun bu kayaknya harus ada kipas, harus ada AC itu tuntutan dari anak supaya lebih nyaman dan kondusif,” ujar Pipih.

Penambahan jumlah siswa secara mendadak menimbulkan kekurangan sarana dan prasarana. Seperti yang dialami oleh siswa baru di SMAN 1 sempat hanya mendapat kursi karena sekolah belum menyediakan meja, meski begitu masalah ini cepat teratasi setelah adanya bantuan dari pemerintah.

“Memang awalnya ya maaf kami itu belum menyediakan. Makanya ada viral lah kalau tidak salah ya yang hanya kursi saja. Kemudian hari kedua ada drop (bantuan) meja kursi,” jelas Kardiana.

Lain halnya di SMAN 7 yang terpaksa memenuhi kebutuhan fasilitas dengan menggunakan kursi dari laboratorium.

Retno menjelaskan hingga saat ini belum ada kiriman bantuan fasilitas.

“Kita pakai kursi dari lab buat yang buat anak PAPS. Belum ada bantuan jadi kita pakai kursi-kursi lab yang ada saja,” ujar Retno.

Lebih lanjut, SMAN 1 dan 7 mengungkapkan adanya kesulitan membangun ruang kelas
baru karena keterbatasan lahan.

“Untuk membangun ruangan baru, kita tidak mungkin bisa. Karena kita gak punya lahan” ungkap Retno.

Hal serupa diungkapkan oleh Kardiana, syarat untuk mendapatkan RKB (Ruang Kelas Baru) itu harus ada lahan. Nah sekarang kalau misalkan dikasih nih lahan. Tidak mungkin lahan baru. Kita menaikkan ke atas, disesuaikan.

Para guru sepakat menilai niat dibalik kebijakan ini sangat mulia, namun mereka juga berharap agar pemerintah provinsi melakukan evaluasi menyeluruh dan mempertimbangkan kondisi sesungguhnya setiap sekolah sebelum membuat kebijakan.

“Dari tujuannya bagus, menyelamatkan yang putus sekolah. Walaupun dilihat dari efeknya, berdampak ke yang swasta kekurangan murid Jadi kalau ingin menyelamatkan yang tidak bisa lanjut sekolah, swasta juga harus diselamatkan,” jelas bagian Sarana dan Prasarana SMAN 7, Otong Karma.(dsn/mg1)