News

Penyebab Kontras Indeks Menabung dan Indeks Kepercayaan dalam Kelompok Rumah Tangga Berpenghasilan Tertentu

Radar Bandung - 13/08/2025, 21:04 WIB
DS
Diwan Sapta
Tim Redaksi
Ilustrasi mata uang rupiah. (Dok. JawaPos)

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merilis data perkembangan Indeks Menabung Konsumen (IMK) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) periode Juli 2025. Berdasarkan laporan yang dirilis resmi pada laman LPS, Jumat (8/8/2025), terdapat pergerakan kenaikan ke level optimis (di atas 100) IKK pada rumah tangga (RT) berpenghasilan sampai dengan Rp1,5 juta per bulan.

Berbeda dengan IKK rumah tangga berpenghasilan hingga Rp1,5 juta per bulan, IKK pada kelompok rumah tangga dengan pendapatan antara Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per bulan serta kelompok dengan pendapatan antara Rp3 juta hingga Rp7 juta per bulan mengalami penurunan masing-masing sebesar 4,2 poin dan 1,7 poin. Sementara itu, IKK rumah tangga dengan pendapatan di atas Rp7 juta per bulan tetap berada di atas level 100 dan mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,1 poin.

Di sisi lain, pergerakan IMK juga menunjukkan tren yang bervariasi. Peningkatan terbesar IMK terlihat pada kelompok RT berpendapatan hingga Rp1,5 juta per bulan yang naik 9,1 poin secara bulanan (MoM), diikuti oleh RT berpendapatan di atas Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per bulan yang naik 3,1 poin. Sebaliknya, pelemahan justru terjadi pada kelompok RT dengan pendapatan di atas Rp3 juta hingga Rp7 juta, di mana IMK tercatat melemah 3,2 poin. Adapun kelompok RT dengan pendapatan di atas Rp7 juta per bulan, IMK-nya masih konsisten berada di atas level 100 meski terkontraksi 8,8 poin.

Menanggapi perbedaan tersebut, Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik Parahyangan, Aknolt Kristian Pakpahan, memberikan analisisnya. Menurutnya, perbedaan cara pandang dan tingkat literasi keuangan menjadi faktor utama di balik data IKK yang kontras antar kelompok pendapatan.

Tian menjelaskan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah cenderung memiliki pengetahuan ekonomi yang lebih sederhana dan terfokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. “Untuk orang yang pendapatannya rendah, mereka melihat dalam kehidupan sehari-hari. Selama mereka bisa memenuhi kebutuhan, selama barang masih tersedia, mereka tahu harga-harga naik, tapi selama itu masih bisa dibeli, mereka melihatnya ya oke-oke saja,” ujar Tian saat dihubungi, Rabu (13/8/2025).

Sebaliknya, kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas (di atas Rp1,5 juta) umumnya memiliki literasi keuangan yang lebih baik. Mereka lebih peka terhadap berita dan isu ekonomi makro, seperti gejolak ekonomi global, perang, hingga tarif internasional yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi.

“Karena literasi keuangan dan gaya hidup, mereka melihat ‘waduh, perekonomian dunia lagi enggak baik-baik nih’. Kekhawatiran ini timbul karena mereka perlu menjaga standar hidup mereka,” jelasnya. Kecemasan untuk mempertahankan gaya hidup di tengah ketidakpastian inilah yang kemudian menurunkan tingkat kepercayaan mereka terhadap situasi ekonomi saat ini.

Lebih lanjut, Tian menyoroti mengapa IMK di kalangan masyarakat, terutama kelompok bawah, cenderung menurun. Faktor utamanya adalah laju inflasi yang tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan.

“Pendapatan masyarakat sekarang kenaikannya itu tidak sebanding dengan kenaikan tingkat inflasi. Misalnya, inflasi naik 2 persen, tapi kenaikan pendapatan kita cuma 1 persen,” paparnya.

Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang tidak signifikan membuat kenaikan gaji terasa sia-sia karena harga barang di pasar naik lebih tinggi. Akibatnya, daya beli masyarakat tergerus. Bagi kelompok berpenghasilan rendah yang hidup dengan basis harian (on a daily basis), seluruh pendapatan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan pokok.

“Mereka kan hidup harian saja. Jadi mereka ya tidak memikirkan pentingnya menabung, pentingnya investasi untuk masa depan, karena untuk memenuhi kebutuhan harian saja sudah susah,” katanya.

Situasi ini diperburuk oleh faktor psikologis akibat berita mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal atau antrean panjang di bursa kerja. Hal ini, menurut Tian, secara umum menurunkan kepercayaan konsumen dan mendorong masyarakat untuk lebih suka memegang uang tunai (cash) karena khawatir akan masa depan dan stabilitas perbankan.(dsn/mg3)