News

Unisba Kukuhkan Lebih dari 1.700 Wisudawan: Banyak Kisah Insiratif Mulai dari Putri Nelayan NTT yang Gigih Perjuangkan Pendidikan Hingga Wisudawan Tuna Netra Hafidz 30 Juz

Radar Bandung - 24/08/2025, 14:42 WIB
AH
AR Hidayat
Tim Redaksi
Rektor Unisba, Prof. Ir. A. Harits Nu’man, M.T., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., saat mewisuda lulusan dalam prosesi Wisuda Gelombang II Tahun Akademik 2024/2025 di Aula Utama Unisba, Sabtu(23/8/2025).

RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Universitas Islam Bandung (Unisba) menggelar Wisuda Gelombang II Tahun Akademik 2024/2025 di Aula Utama Unisba, Sabtu–Minggu (23–24/8/2025).

Dalam prosesi tersebut, lebih dari 1.700 lulusan resmi dikukuhkan menjadi Doktor, Magister, Profesi dan Sarjana dari berbagai fakultas. Wisuda berlangsung selama dua hari dengan total empat sesi pelantikan, yakni dua sesi pada hari pertama dan dua sesi lainnya pada hari kedua.

Rektor Unisba, Prof. Ir. A. Harits Nu’man, M.T., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., dalam sambutannya menyampaikan wisuda bukan hanya sebuah pencapaian akademik, melainkan juga awal dari tanggung jawab baru yang harus dipikul para lulusan.

“Sebagai alumni, saudara adalah representasi yang menjadi wajah Unisba. Jagalah nama baik almamater dengan cara berpikir, berkata dan berperilaku yang baik. Tampil percaya diri sebagai pribadi dengan spirit Unisba, yaitu pejuang, pemikir, dan pembaharu. Jadilah ragi dalam masyarakat yang menjadi agen perubahan dan membawa dampak positif dengan keahlian ilmu yang dimiliki,” tegasnya.

Prof. Harits juga menekankan pentingnya menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi dalam meniti karier. Menurutnya, kompetensi yang diperoleh selama kuliah harus diiringi dengan komitmen untuk memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat, berlandaskan kejujuran, keadilan, dan keteladanan.

“Jadikan nilai-nilai Islam sebagai Kompas Moral dalam mengambil setiap keputusan pada kehidupan ke depan,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa ilmu yang diperoleh di bangku kuliah hendaknya menjadi alat untuk menjawab persoalan masyarakat. Para alumni diharapkan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terlibat aktif dalam pertukaran pengetahuan, serta menjadi agen perubahan yang membawa kemaslahatan bagi umat.

Prof. Harits menambahkan, meskipun pengetahuan dan kompetensi akademik merupakan modal penting, penciptaan nilai tambah tetap membutuhkan interaksi sosial dan pertukaran pengetahuan secara berkesinambungan agar ilmu yang diperoleh benar-benar memberi manfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat luas.

“Keberhasilan Saudara hari ini tidak lepas dari doa, tenaga, bahkan air mata orang tua. Maka berbaktilah kepada mereka, karena ridho orang tua adalah pintu utama menuju ridho Allah Swt.,” pesannya.

Kepala LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat dan Banten, Dr. Lukman dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan wisuda yang telah sesuai dengan ketentuan pemerintah, sehingga seluruh lulusan sah terdata di PDDIKTI dan memperoleh nomor ijazah nasional.

Ia berpesan agar lulusan Unisba memegang dua hal penting dalam meraih kesuksesan, yakni “duit” dan “ilmu pintar”. Duit yang dimaksud adalah doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal. Setelah sukses, lulusan diminta membawa pula ilmu pintar: profesional, berintegritas, netral, transformatif, adaptif, dan realistis.

Menurutnya, keberhasilan bukan semata-mata ditentukan oleh siapa yang paling pintar, tetapi oleh siapa yang paling gigih dalam berusaha.

Pesan juga disampaikan Ketua Badan Pembina Yayasan Unisba, Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.CL., yang menekankan pentingnya takwa, integritas, kejujuran, dan kepedulian sosial sebagai bekal hidup.

Ia mengingatkan agar para sarjana baru tidak hanya berilmu, tetapi juga berkarakter dan bertanggung jawab.

“Biasakan diri berpihak kepada yang lemah dan kecil. Jangan memejamkan mata ketika menghadapi orang kecil, tetapi bukalah mata ketika menghadapi orang besar, karena mungkin di sana ada bagian kita,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Yayasan Unisba, Prof. Dr. H. Miftah Faridl, menegaskan bahwa wisuda bukan akhir perjalanan, melainkan pintu masuk menuju dunia kehidupan yang sesungguhnya.

Menurutnya, lulusan yang telah dikembalikan kepada orang tua dan masyarakat diharapkan dapat menjadikan ilmunya bermanfaat, menjadi berkah, dan menuai pahala, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Ia juga mengingatkan agar para lulusan mampu berkontribusi dalam pendidikan, lingkungan, serta isu sosial-keagamaan dengan cara yang akademis, intelektual, dan solutif.

Pada periode ini, Unisba juga memberikan penghargaan kepada para lulusan berprestasi. Lulusan terbaik diraih oleh Tiara Wulandari dari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi dengan perolehan IPK 3,99.

Lulusan tercepat diraih oleh Muhammad Nur Alief Fathansyah dari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi yang berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu 2 tahun 10 bulan 24 hari.

Sementara itu, lulusan termuda adalah Arha Ramdhany Bugis dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik yang berhasil meraih gelar sarjana pada usia 19 tahun 9 bulan 6 hari.

Sebagai wujud implementasi semangat long life learner dan utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi, penghargaan lulusan istimewa diberikan kepada Prof. Dr. dr. Yusrawati, Sp.O.G., M.M., M.H.. Ia berhasil menyelesaikan studinya di Program Magister Hukum, Fakultas Hukum.

Dua tahun sebelumnya, ia juga telah menjadi lulusan di Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unisba, dan saat ini tercatat sebagai calon mahasiswa di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unisba.

Wisudawan Terbaik

Tiara Wulandari, mahasiswi asal Bandung, yang terpilih sebagai Wisudawan Terbaik dengan IPK 3,99 predikat pujian dengan skripsi berjudul “Gambaran Konflik Komunikasi dalam Pekerjaan terhadap Keluarga”.

Tiara yang merupakan alumni SMAN 2 Kota Bandung ini menyelesaikan studi dalam 8 semester.
Bagi Tiara, komunikasi bukan sekadar keterampilan, tetapi kunci untuk memahami kehidupan.

“Banyak konflik sebenarnya muncul bukan karena orangnya jahat, melainkan karena pesan tidak tersampaikan dengan tepat,” ujarnya.

Ia memilih Fikom Unisba karena fasilitas laboratorium yang lengkap sekaligus nilai-nilai religius yang membekali dirinya sebagai komunikator yang beretika.

Perjalanan Tiara tidak selalu mulus. Konsistensi menjadi tantangan terbesarnya. Namun dukungan keluarga yang selalu menerima apa pun hasil pencapaiannya menjadi energi untuk terus berusaha maksimal.

Aktif di berbagai organisasi, seperti Komunitas Satu Persen, hingga dipercaya sebagai ketua pelaksana beberapa event, membuatnya terbiasa berpikir kritis dan kompetitif.

Prestasinya pun gemilang, mulai dari sutradara produksi media kreatif, announcer radio, hingga tim kreatif berbagai karya komunikasi.

Setelah lulus, Tiara berencana melanjutkan studi S2 melalui beasiswa, sambil mengembangkan minat di bidang wirausaha, khususnya pastry. Pesannya untuk adik-adik mahasiswa.

“Jangan pernah takut gagal, karena gagal hanyalah proses belajar untuk mencoba lagi. Dunia ini tidak ada limit untuk mencoba hal baru,” ujarnya.

Sementara itu, gelar Wisudawan Tercepat diraih oleh Muhammad Nur Alief Fathansyah. Pemuda asal Cirebon ini berhasil menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 6 semester (kurang dari 3 tahun) dengan IPK 3,87 predikat Pujian. Alumni SMAN 4 Cirebon ini menulis skripsi berjudul
“Pengaruh Keterampilan Komunikasi Interpersonal terhadap Kepuasan Pelanggan” dan resmi lulus pada 25 Juli 2025.

Sejak awal kuliah, Alief sudah menargetkan untuk lulus cepat. Motivasi utamanya adalah meringankan beban orang tua dan bisa lulus lebih dulu sebelum adiknya masuk kuliah.

“Kuliah bagi saya adalah amanah orang tua yang harus diselesaikan dengan serius dan penuh tanggung jawab,” tuturnya.

Selain fokus kuliah, Alief aktif bekerja sebagai fotografer dan social media specialist, bahkan tergabung dalam sebuah agency alumni Unisba.

Ia juga pernah menjadi Campus Ambassador JobStreet, pengurus acara Unisba Career Day, hingga volunteer di komunitas.

Pengalaman ini membuatnya semakin matang dalam manajemen waktu, meskipun harus menghadapi tantangan berat di kesehatan karena aktivitas padat hingga larut malam.

Bagi Alief, kuliah di Unisba sangat berkesan, terutama karena suasana islami yang mengingatkannya pada pendidikan madrasah sejak kecil. “Belajar agama di kampus membuat saya bernostalgia, sekaligus memperdalam nilai-nilai Islam yang bermanfaat untuk kehidupan,” katanya.

Ke depan, Alief berencana melanjutkan studi S2 di bidang Komunikasi Bisnis pada tahun depan setelah mempersiapkan diri lebih matang. Kisah Tiara dan Alief menjadi bukti bahwa kerja keras, konsistensi, serta doa mampu menghantarkan mahasiswa pada prestasi gemilang.

Wisudawan Hafidz 30 Juz

Dalam momentum wisuda tahun ini juga datang sosok lain yang menginspirasi. Ia adaah
Amin Rasyid: Wisudawan Tuna Netra Unisba, Hafidz 30 Juz yang tak pernah menyerah.

Di balik toga hitam yang dikenakan Amin Rasyid saat prosesi Wisuda Gelombang II Universitas Islam Bandung (Unisba), Sabtu–Minggu (23–24/8/2025), tersimpan kisah luar biasa tentang keteguhan hati dan keyakinan akan jalan hidup yang digariskan Allah.

Amin, wisudawan Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan ini lulus dengan predikat Sangat Memuaskan (IPK 3,48) setelah menempuh studi delapan semester.

Bagi pria asal Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, pencapaian itu bukan sekadar gelar, melainkan bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya.

Amin adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia terlahir dengan penglihatan yang terus menurun sejak duduk di bangku SD kelas 2. Awalnya, ia hanya merasakan lapang pandang yang semakin menyempit, namun masih bisa membaca dan menulis Al-Qur’an.

Hingga SMA, ia belum menyadari bahwa kondisinya termasuk dalam kategori tuna netra. Barulah setelah lulus SMA, penglihatannya semakin merosot hingga membuatnya tak lagi bisa membaca dan menulis. Kondisi itu membuatnya terhenti empat tahun tanpa melanjutkan pendidikan.

Titik balik datang pada 2018 ketika ia berobat ke RS Cicendo, Bandung. Dokter menyampaikan bahwa penglihatannya tidak bisa lagi dipulihkan, baik dengan alat bantu optik maupun operasi.

Namun, ada satu nasihat yang membekas di hatinya yakni jangan habiskan waktu dan biaya untuk hal yang tak bisa diubah, lebih baik fokus bersekolah dan menuntut ilmu. Dari situlah Amin mulai membuka lembaran baru.

Sejak 2019, ia bergabung dengan komunitas tuna netra, belajar membaca Al-Qur’an braille, hingga mengoperasikan gawai dengan teknologi aksesibilitas.

Ia kemudian mondok di Pesantren Tuna Netra, tempat ia menemukan inspirasi dari para guru sekaligus motivasi untuk melanjutkan kuliah.

Saran dari seorang pengajar yang juga tuna netra menguatkan tekadnya memilih Unisba sebagai tempat belajar.

Di Unisba, Amin tak hanya menimba ilmu, tetapi juga merasakan ruh perjuangan para pendirinya.
“Saya resapi spirit 3M: Mujahid, Mujtahid, dan Mujaddid. Itu yang membentuk karakter saya di kampus,” ujarnya.

Meski aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di kampus masih penuh tantangan, Amin merasa terbantu dengan dukungan teman-temannya.

“Banyak yang ingin membantu, meski kadang bingung bagaimana caranya. Kalau saya butuh, saya minta tolong, dan mereka dengan senang hati membantu,” tuturnya.

Tak berhenti di situ, Amin juga aktif berkegiatan di organisasi. Ia tercatat sebagai anggota HMI dan juga aktif di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI).

Bahkan, ia menjadi pengajar Al-Qur’an braille bagi sesama penyandang disabilitas dan sempat mengabdi di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Ma’had Sam’an Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Yang paling menginspirasi, meski sempat kehilangan kemampuan membaca Al-Qur’an dengan mata, Amin justru mendapatkan anugerah besar bisa menghafal 30 juz Al-Qur’an dengan metode braille.

Proses itu ia jalani dengan penuh kesabaran antara 2019 hingga 2022, memadukan hafalan dengan murajaah melalui audio. Atas pencapaiannya, ia menerima Beasiswa Hafidz 30 Juz dari Unisba berupa pembebasan biaya pendidikan.

Kini, setelah resmi menyandang gelar sarjana, Amin merencanakan langkah berikutnya yakni mengabdi sebagai guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kabupaten Tasikmalaya.

“Saya ingin mengajar anak-anak tuna netra, agar mereka juga punya kesempatan yang sama untuk belajar,” katanya.

Bagi Amin, profesi guru bukanlah beban, melainkan ladang pengabdian.

“Guru bukan sekadar pekerjaan, tapi jalan untuk membangun generasi berakhlakul karimah. Saya ingin melanjutkan estafet dakwah Rasulullah dalam membimbing umat,” ungkapnya penuh keyakinan.

Dengan penglihatan yang kini tinggal sekitar 10 persen dan kemungkinan terus menurun, Amin tetap optimistis. Ia yakin, gelapnya dunia mata bukan berarti gelapnya masa depan. Justru dari keterbatasan itu, ia belajar melihat dengan mata hati. (arh)

Live Update