RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Perkusi bukan sekadar dentuman ritmis tanpa makna. Di tangan komunitas United State of Bandung Percussion (USBP), seni tabuhan ini menjadi wadah edukasi, terapi, dan bahkan jalan hidup bagi ribuan anggotanya.
Salah satu founder USBP, Jarwo saat ditemui di Kota Bandung, Senin (24/3/2025), menceritakan perjalanan komunitas ini sejak berdiri 22 Maret 2012 di Monumen Perjuangan Bandung. Berawal dari sekadar perkumpulan pegiat perkusi, kini USBP telah berkembang menjadi komunitas besar dengan lebih dari seribu anggota, yang mayoritas berasal dari kalangan pelajar SMP, SMA, mahasiswa, hingga pekerja dan musisi jalanan.
Jarwo mengungkapkan salah satu program andalan USBP, Percussion Attack yakni aksi perkusi spontan di ruang-ruang publik seperti taman kota dan pusat perbelanjaan di Bandung.
“Tujuannya bukan sekadar hiburan, tapi juga edukasi. Kami ingin masyarakat tahu, perkusi bukan hanya alat musik, tapi juga media ekspresi yang bisa dimainkan siapa saja,” ujar Jarwo saat berbincang usai perfom, di Kota Bandung, Senin (24/3/2025).
Menurutnya, USBP juga menggelar program camping untuk membentuk karakter anggota baru sebelum resmi bergabung.
“Kami ingin membangun bukan hanya pemain perkusi, tapi juga individu yang disiplin dan punya jiwa kebersamaan,” tambahnya.
Hasilnya, banyak alumni USBP yang kini berkarier di industri musik profesional. Beberapa di antaranya tampil di program televisi nasional, menjadi musisi reguler di berbagai acara, hingga mengajar di sekolah-sekolah. Dalam beberapa tahun terakhir, USBP juga mulai fokus pada perkusi sebagai terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti yang belajar di SLB dan mereka dengan Down Syndrome.
Menurut Jarwo, ritme perkusi terbukti memiliki efek positif dalam perkembangan motorik dan kognitif mereka.

Pertunjukkan percussion kontemporer, yang di gagas oleh Jarwo, di nuart, alat musik perkusi bernama lorter (telor muter).
“USBP ingin menyamakan posisi mereka dengan anak-anak lainnya. Dengan perkusi, USBP menunjukkan mereka juga bisa berekspresi dan berpartisipasi dalam komunitas,” jelasnya.
Jarwo menambahkan peran edukasi dan terapi dalam USBP tak lepas dari latar belakang para pendirinya, yang merupakan alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI, kini ISBI) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Seni Musik. Meski berkembang pesat, USBP tetap berdiri secara mandiri tanpa bergantung pada donasi atau sponsor besar.
“USBP hidup dari hasil berkarya sendiri,” ungkap Jarwo.
Jarwo mengungkapkan untuk menjaga keberlangsungan komunitas, USBP menawarkan jasa pertunjukan perkusi untuk berbagai acara, mulai dari hajatan hingga gathering perusahaan. Mereka juga memproduksi dan menjual alat musik seperti jimbe, stik drum, dan perlengkapan perkusi lainnya.
“USBP nggak pernah seudunan (iuran) untuk bertahan. USBP cari cara untuk tetap bisa jalan dengan keringat sendiri,” tegasnya.
Jarwo menjelaskan salah satu dampak sosial terbesar dari USBP adalah bagaimana komunitas ini berhasil mengalihkan energi anak-anak muda dari hal-hal negatif ke kegiatan yang lebih positif.
“Saya dulu mendirikan ekskul perkusi di SMA 22 Bandung tahun 2003-2004, namanya Perkutu (Percussion of Strength). Tujuannya simpel, bikin anak-anak sibuk main perkusi daripada tawuran,” ujar Jarwo.
Jarwo mengungkapkan dari satu sekolah, ekskul ini menyebar ke berbagai SMA lain di Bandung, hingga akhirnya berkembang menjadi komunitas yang lebih besar. Kini, USBP masih aktif di lebih dari 15 sekolah, baik negeri maupun swasta, bahkan memberikan pelatihan privat bagi banyak siswa.
Menurutnya, nama United State of Bandung Percussion bukan sekadar nama keren. USBP memang didesain seperti negara kecil di dunia perkusi, dengan sistem yang terstruktur. Mereka memiliki kurikulum, silabus, serta tim penelitian dan pengembangan (litbang).
“USBP ini komunitas, tapi kita serius. Ada kurikulumnya, ada silabusnya. Kita bikin agar nggak kebablasan, tapi tetap kreatif dan berkembang,” jelas Jarwo.
Jarwo mengungkapkan pendekatan ini juga terbukti efektif dalam membangun kedisiplinan dan profesionalisme anggotanya. Banyak dari mereka yang kini berkarier di berbagai bidang, dari musisi hingga pengajar. Setelah 13 tahun berdiri, USBP terus berkembang dan berinovasi. Salah satu fokus mereka saat ini adalah memperluas peran perkusi sebagai terapi dan memperbanyak kegiatan sosial.
“USBP sering berbagi dengan anak yatim, mengadakan pelatihan gratis untuk guru-guru di sekolah kebutuhan khusus, agar mereka bisa meneruskan ilmu ini ke murid-muridnya,” ungkap Jarwo.
Jarwo menambahkan bagi USBP, perkusi bukan sekadar alat musik. Perkusi adalah denyut kehidupan, yang menyatukan berbagai kalangan, menginspirasi anak muda, dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.
“Selama masih bisa tatakol (memukul perkusi), USBP akan terus hidup dan berkarya,” pungkas Jarwo.(dsn)