RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), Kamis (1/5/2025), Forum Dago Melawan tampil menyuarakan isu krusial yang selama ini luput dari perhatian publik, perampasan hak ruang hidup warga. Aksi ini berlangsung di depan Gedung Sate, Kota Bandung, di mana ratusan massa berkumpul menyuarakan berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang dialami rakyat.
Perwakilan warga Dago Elos, Angga Sulistia menjelaskan Forum Dago Melawan menyatakan perjuangan mempertahankan ruang hidup adalah bagian tak terpisahkan dari semangat May Day.
Menurutnya, perjuangan buruh dan perjuangan rakyat sipil atas tanah dan tempat tinggal memiliki akar yang sama, penindasan struktural dan pengabaian hak dasar manusia.
“Hari Buruh adalah milik semua yang tertindas. Kami warga Dago Elos juga bagian dari rakyat pekerja yang tanahnya dirampas oleh sistem yang tidak berpihak,” ujar Angga saat ditemui usai melakukan orasi di depan Gedung Sate, Jl. Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (1/5/2025).
Angga mengungkapkan Forum Dago Melawan menuding sejumlah konflik agraria, termasuk yang terjadi di Dago Elos, dimotori oleh mafia tanah yang memanfaatkan celah hukum dan kelemahan regulasi pertanahan. Salah satu sorotan utama adalah masih digunakannya dokumen tanah warisan kolonial bernama Eigendom Verponding sebagai dasar hukum penguasaan lahan.
Angga menambahkan padahal, menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Keppres No. 32 Tahun 1979, sistem pertanahan kolonial tersebut seharusnya sudah tidak berlaku. Namun dalam praktiknya, dokumen tersebut terus digunakan sebagai alat legitimasi untuk mengusir masyarakat dari tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.
Angga menambahkan selain mengangkat isu lokal di Dago Elos, Forum Dago Melawan juga menyatakan solidaritas penuh terhadap warga Sukahaji yang tengah mengalami tekanan serupa. Kami mengecam keras tindakan kekerasan oleh aparat dan pihak-pihak yang mengatasnamakan ormas dalam proses penggusuran yang dinilai brutal dan tidak berperikemanusiaan.
“Kami mendukung warga Sukahaji. Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan menyakiti,” tegasnya.
Angga menambahkan Forum Dago Melawan mendesak pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk menghentikan legalisasi kepemilikan lahan berdasarkan sistem kolonial dan mengevaluasi seluruh proses peralihan hak tanah yang merugikan masyarakat. Kami pun menuntut agar praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam konflik agraria diusut secara transparan.
Menurut Angga, kehadiran negara hanya bisa dibuktikan melalui keberpihakannya kepada warga, bukan kepada investor atau pengembang besar.
Angga menyampaikan mengusung slogan Dago Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan, Forum Dago Melawan menegaskan perjuangan ini bukan sekadar perlawanan lokal, tapi bagian dari gerakan nasional rakyat Indonesia yang memperjuangkan hak atas tanah, lingkungan hidup, dan kehidupan yang layak. Kami berkomitmen untuk terus melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di wilayah mereka dan di tempat lain.
“Selama masih ada yang menggunakan Eigendom Verponding untuk merampas hak kami, maka kami akan terus melawan,” pungkas Angga dengan tegas.(dsn)