News

Pancasila Harus Hidup, Bukan Dihafal, Hidupkan Pancasila di Era Digital

Radar Bandung - 01/06/2025, 17:58 WIB
DS
Diwan Sapta
Tim Redaksi
Napak Tilas Museum Penjara Banceuy, Minggu (1/6). (Foto. Dok. Pemkot Bandung/For. Radar Bandung)

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Peringatan Hari Lahir Pancasila di Kota Bandung tahun 2025 bukan sekadar seremoni tahunan yang usai setelah upacara. Di tengah momentum kebangsaan yang kian dibutuhkan, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan menyuarakan pesan mendalam, Pancasila bukan hanya dasar negara, tapi juga ruh spiritual dan moral bangsa yang tak boleh dibiarkan sekadar menjadi hafalan.

Pancasila tidak lahir dari ruang kosong, Pancasila tumbuh dari nilai-nilai spiritual yang dalam dan moralitas yang luhur,” tegas Farhan, Minggu (1/6/2025).

Bagi Farhan, pemahaman ideologi bangsa tidak cukup bila hanya bertumpu pada aturan legal formal. Dalam refleksi yang sarat makna, ia memperingatkan kepemimpinan tanpa dimensi kemanusiaan justru dapat melahirkan kekuasaan yang membutakan nurani.

“Kalau pemimpin hanya berpikir legalistik, tanpa moral dan nilai spiritual, maka bisa saja berujung seperti penguasa otoriter, menuhankan kekuasaan,” ungkapnya.

Napak tilas ke Museum Penjara Banceuy, Farhan membawa kembali ingatan publik pada perenungan Bung Karno di balik jeruji besi. Di ruang sempit itu, Bung Karno tak hanya melahirkan teks Indonesia Menggugat, tapi juga menemukan ruh dari kelima sila Pancasila.

“Bandung bukan hanya kota sejarah, tapi kota tempat lahirnya kesadaran ideologis,” jelas Farhan.

Farhan menegaskan semangat itu jangan dibiarkan menjadi kenangan kosong. Sebab, nilai Pancasila, terutama keadilan sosial, masih sering dikalahkan oleh praktik-praktik ketimpangan.

Di tengah gencarnya pembangunan dan derasnya arus informasi, Farhan mewanti-wanti agar sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tidak dibajak oleh angka-angka di atas kertas.

“Keadilan bukan hanya statistik. Ia adalah rasa, ketika pencuri ayam dihukum berat tapi koruptor dihukum ringan, maka keadilan itu sedang dilukai,” ungkapnya.

Farhan menawarkan konsep keadilan yang tidak hanya mengedepankan persamaan (equality), melainkan keseimbangan dan kepatutan (equilibrium). Menurutnya, keadilan adalah memberikan sesuai kebutuhan, bukan menyamaratakan.

Farhan juga menyoroti pentingnya menjaga kerukunan di tengah keberagaman. Kota Bandung, menurutnya, menjadi contoh nyata kehidupan berbangsa yang toleran. Hak beribadah terlindungi, demonstrasi tidak ditakuti, dan rivalitas antar kelompok seperti Bobotoh dan Jakmania bisa diubah menjadi bentuk kedewasaan sosial.

“Inilah esensi Pancasila yang hidup, bukan disakralkan, tapi dijalankan,” tegasnya.

Menyikapi tantangan zaman, terutama era digital yang penuh disinformasi, Farhan menawarkan empat langkah strategis agar Pancasila benar-benar menjadi living ideology, bukan sekadar teks konstitusional. Pendidikan karakter sejak dini, bukan hanya hafalan, tapi pembiasaan. Birokrasi yang melayani rakyat, bukan mempersulit. Ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, terutama sektor UMKM. Ruang digital yang sehat dan bermoral, bebas dari hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi.

Ia mengapresiasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, namun menegaskan tugas memelihara dan membumikan nilai-nilai luhur bangsa bukan tanggung jawab lembaga saja.

“Menjaga Pancasila adalah tugas semua pihak. Dari pelajar, pejabat, rakyat biasa, hingga pemuka agama,” ujarnya.

Menutup refleksinya, Farhan mengajak warga Bandung dan bangsa Indonesia untuk menilai kemajuan bukan hanya dari Produk Domestik Bruto, melainkan dari ketinggian budi pekerti.

“Negara besar tak hanya dilihat dari ekonomi, tapi dari karakter. Indonesia harus disegani karena adab, bukan sekadar angka,” pungkasnya.(dsn)