RADARBANDUNG.id – DPR sudah mulai membahas mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang Cipta Kerja. Namun RUU ini banyak menuai pro dan kontra karena tidak berpisah kepada kaum buruh.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR Elnino Husein Mohi mengatakan, RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak UU sekaligus.
“Sederhananya ini adalah RUU sapujagat. Hanya 174 pasal, memang. Tapi, secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi,” ujar Elnino kepada JawaPos.com, Rabu (8/4).
Baca Juga: Akibat Corona, Lebih dari 900 Pekerja Diberhentikan, 1.850 Dirumahkan
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja yang diajukan ini mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul, semisal lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur investasi. Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja.
“Alih-alih menyederhanakan, RUU ini malah bikin ribet. Dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya. Tercatat RUU Cipta Kerja ini mensyaratkan 500-an aturan turunan (peraturan pemerintah) yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak,” katanya.
Karena itu, meski sudah masuk Baleg, RUU Cipta Kerja ini harus dikaji betul. Jangan sampai maksud penciptaan iklim investasi yang kondusif, justru mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.
“Serta kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Seperti pada Pasal 33 UUD 1945,” ungkpnya.
Untuk itu pembahasan RUU Cipta Kerja ini tak boleh dilakukan lewat sistem kebut semalam. Misalnya diselesaikan selama 3,4 dan 5 bulan. Karena idealnya RUU tersebut baru bisa diselesaikan selama 5 tahun.
“Kalau harus 5 tahun, kenapa? Yang penting hasilnya semaksimal mungkin, lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur UU 12/2011 dan perubahannya,” ungkapnya.
Baca Juga: DPRD Kota Bandung Geser Anggaran Perjalanan Dinas Untuk Kebutuhan Penanganan Covid-19
Elnino juga mengatakan dirinya pernah terlibat dalam perancangan Draft RUU Penyiaran, dari awal 2015 hingga september 2019. Hanya sekitar 160 pasal sederhana, tapi akhirnya Draft RUU tersebut gagal diundangkan, bahkan gagal jadi RUU hingga masa jabatan saat itu habis.
Kenapa bisa lama begitu. Karena proses akademiknya lama, melibatkan banyak orang. Juga proses politiknya lama, karena melibatkan banyak fraksi di DPR yang berbeda perspektif satu dengan yang lain. Padahal saat itu semua orang sepakat agar UU Penyiaran Tahun 2002 harus segera diganti dengan UU baru karena perkembangan teknologi informasi dan penyiaran.
Apalagi RUU Omnibus Law yang tebalnya luar biasa ini. Belum pula kondisi sekarang ini yang work from home (WFH) tentu akan menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yang baik untuk penyempurnaan RUU.
“Kalau ingin UU ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik,” pungkasnya.
(jpc/radarbandung)