News

Jadi Kota Termacet, Pemkot Bandung Siapkan Strategi Berbasis Teknologi dan Data Solusi Urai Kemacetan

Radar Bandung - 23/07/2025, 11:39 WIB
AH
AR Hidayat
Tim Redaksi

 

RADARBANDUNG.id, BANDUNG – Kota Bandung kembali tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan laporan dari perusahaan pemetaan lalu lintas TomTom Traffic Index 2024, Kota Bandung menduduki posisi atas dalam daftar kota dengan waktu tempuh harian terlama.

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan sejumlah strategi berbasis teknologi dan tata kelola waktu untuk mengurai kemacetan.

Kemacetan pun dirasakan Farhan terjadi dibeberapa titik terutama persimpangan jalan dengan mengularnya kendaraan baik roda empat maupun roda dua.

“Saya perhatikan di beberapa titik yang padat, seperti di kawasan Jalan Riau yang banyak sekolah, sudah mulai ada penguraian. Itu karena kita coba mengatur ulang jam masuk sekolah agar tidak menumpuk di jam yang sama,” ujar Farhan di Balai Kota Bandung, Rabu, 23 Juli 2025.

Namun, Farhan menekankan bahwa efektivitas kebijakan tersebut masih harus dibuktikan lewat data. Diakui Farhan, saat ini Pemkot Bandung juga tengah menjajaki pemanfaatan teknologi Area Traffic Control System (ATCS) yang dapat menyesuaikan durasi lampu lalu lintas berdasarkan kepadatan kendaraan secara real-time.

“Saya sudah minta Dinas Perhubungan buat kajian dan lapor ke saya. Hari Kamis nanti mereka baru akan menyampaikan laporannya,” kata Farhan.

Farhan menyebut bahwa sistem ATCS sudah tersedia, namun belum sepenuhnya berfungsi secara otomatis karena keterbatasan data pendukung.

“Alatnya sudah siap untuk otomatis. Tapi data durasi lampu hijau dan merah yang disesuaikan dengan waktu dan hari itu belum kita punya. Kita perlu big data dari perusahaan,” bebernya.

Saat ini, Pemkot Bandung sedang mencari skema kerja sama dengan pihak penyedia data untuk memanfaatkan data pergerakan GPS sebagai acuan pengaturan lalu lintas yang lebih presisi.

Farhan menegaskan bahwa solusi jangka panjang bagi kemacetan Kota Bandung adalah penerapan konsep smart city secara nyata.

“Saatnya Bandung jadi smart beneran. Alat-alat canggih sudah ada, tinggal dimanfaatkan dan didukung dengan data yang akurat,” sahutnya.

Ia juga menyinggung bahwa banyak infrastruktur teknologi yang sudah tersedia sejak lama, namun belum digunakan secara optimal karena keterbatasan integrasi data.

“Selama ini kan masih manual. Harusnya bisa otomatis, apalagi sekarang semua sudah serba digital,” ungkapnya.

Sementara itu, menurut praktisi lalu lintas Kombes Pol Edwin Affandi, Kota Bandung perlu revolusi sistem pengaturan lalu lintas melalui teknologi modern.

Diakui Edwin, solusi inovatif berupa traffic light adaptif berbasis kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi kunci untuk mengurai benang kusut kemacetan di simpang jalan.

“Sistem fixed time tidak lagi relevan untuk kondisi lalu lintas yang dinamis. Diperlukan sistem cerdas yang bisa menyesuaikan waktu hijau berdasarkan kondisi riil di lapangan,” ujar Edwin.

Edwin menuturkan, terdapat tiga penyebab yang menjadi masalah utama kemacetan di simpang jalan Kota Bandung.

Pertama, waktu hijau tidak responsif artinya lampu lalu lintas dengan pengaturan waktu tetap tidak menyesuaikan dengan variasi volume kendaraan yang datang, sehingga waktu hijau bisa terbuang sia-sia.

“Kedua, adanya tumpang tindih arus saat lampu hijau menyala, arus dari satu arah seringkali tertahan karena kendaraan dari simpang lain sudah memenuhi area tengah persimpangan,” bebernya.

Ia menyebutkan masalah ketiga yaitu jarak dan kecepatan Kendaraan yang masih jauh saat lampu hijau menyala kerap gagal melintas. Hal itu berdampak menghambat efisiensi arus dan memperpanjang waktu tunggu berikutnya.

Selain itu, lanjut Edwin, kemacetan pun memiliki beberapa dampak yang sangat merugikan masyarakat diantaranya dapat menghambat waktu selama 25–40% waktu perjalanan, peningkatan emisi dan polusi serta memicu stres, kecemasan, serta gangguan pernapasan akibat paparan polusi.

“Disisi lain juga kemacetan berdampak pada kerugian ekonomi, karena kendaraan yang terjebak macet mengonsumsi lebih banyak bahan bakar hingga 30% dibanding kondisi normal,” sahutnya. (mur)

Live Update